Analog 0018b

Entri Populer

Sabtu, 28 Juni 2014

Menjadi Negara yang Disegani, Adil dan Makmur

Oleh: Nasrullah


Indonesia didirikan oleh para pendahulunya dengan perjuangan yang nyata. Memukul mundur kaum penjajah atas ketertindasan rakyat Indonesia. Sejak didirikannya sampai sekarang (2014) Indonesia sudah mengalami beberapa kali pergantian kepemimpinan. Dari Soekarno sampai Susilo Bambang Yudhoyono. Tentu pada era kepemimpinan mereka mengalami pasang surut dalam memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia. Negara yang dulunya disegani dan terkenal dengan kekayaannya kini sepertinya hampir hanya tinggal nama. Terbukti dengan permasalahan yang saat ini ada pada bangsa kita. Indonesia merupakan tanah yang subur, mempunyai sumber daya alam yang melimpah. Bahkan sampai-sampai salah satu tujuan Belanda dan Jepang menjajah negeri ini adalah untuk mengeruk dan mengambil serta mengeksplorasi berbagai macam kekayaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Inilah yang sampai saat ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah bahwa rakyat yang hidup di negaranya sendiri justru tidak mendapatkan hak hidup sebagaimana layaknya. Padahal negara ini adalah negara yang sebenarnya kaya. Apakah pemerintah takut atau sudah terlanjur mengadakan perjanjian dengan pihak luar dalam permasalahan ini sehingga menyebabkan kekayaan negara kita dibawa ke negara luar sana. Belum lagi kekayaan yang di ambil oleh oknum tertentu atau secara pribadi yang sangat merugikan bangsa Indonesia seperti pengerukan tambang emas di Papua, batu bara dan penebangan hutan secara liar di Kalimantan serta lain sebagainya.
Untuk kali ini, walaupun saya tidak terlalu faham tentang dunia politik juga kenegaraan, tapi saya yakin bahwa pasangan capres dan cawapres 2014-2019 presiden selanjutnya RI nomor urut 1 pada pilpres kali ini, Prabowo-Hatta mampu membuat Indonesia menjadi negara yang disegani oleh negara-negara di seluruh dunia jika beliau terpilih. Hal ini saya yakini dari kepribadian beliau yang berakhlak mulia, tegas, serta bijaksana dalam bertindak. Saya yakin, orang yang berlatar belakang militer akan mampu bertindak cepat dalam menyelesaikan permasalahan bangsa ini, karena militer sudah pasti mempunyai banyak strategi guna menaklukkan lawan-lawannya. Mengenai hal ini saya qiyaskan kepada Nabi Muhammad saw yang kemudian diikuti oleh para sahabat dan orang-orang setelahnya dalam memimpin rakyat bahkan negaranya. Mereka mengalami kemenangan atas lainnya karena kehebatan strategi mereka dalam peperangan maupun dalam mengayomi masyarakatnya, sehingga rakyat pun sejahtera di bawah kepemimpinan mereka. Sosok seperti Prabowo inilah yang menurut saya dapat memimpin bangsa dan negara yang besar ini. Beliau tidak takut terhadap ancaman dalam maupun luar negeri. Sehingga melalui perantara tangan beliaulah Indonesia mempunyai harapan untuk menjadi negara yang disegani serta rakyatnya dengan semangat keberagamaan (sila ke-1) serta hidup penuh dengan keadilan dan keberadaban (sila ke-2).
Berbagai isu, fitnah dan sejenisnya yang dilotarkan oleh lawan politiknya tidak membuat beliau lantas mundur dari calon presiden RI 2014-2019. Ini adalah salah satu bukti kegigihan dan keikhlasan beliau dalam memperjuangkan segenap rakyat Indonesia. Tinggal rakyat mau atau tidaknya (bersedia atau tidak) memberikan dan meletakkan amanah ini ke pundak beliau? Meskipun beliau jarang sekali diliput oleh berbagai media (Koran, televisi, internet dll) terlebih sebelum beliau mencalonkan diri sebagai presiden RI, namun apakah seseorang yang merakyat atau membela kepada rakyat harus selalu diliput? Tentu tidak. Dalam hal soal liput meliput bagi yang berprestasi saya berkeyakinan bahwa Prabowo juga orang yang berprestasi dan peduli terhadap rakyat. Hal ini nampaknya serupa dengan para pemimpin lainnya di berbagai tingkat desa sampai pusat, artinya juga masih banyak para pemimpin yang mereka berjuang gigih untuk rakyatnya namun tidak pernah tampak kepermukaan (maksudnya tidak disorot oleh media). Hal ini saya sampaikan bukan apa-apa tapi hanya ingin menyampaikan bahwa tidak mesti pemimpin yang baik selalu diliput. Hal ini saya temukan pada pasangan Prabowo-Hatta yang mampu menjadikan Indonesia menjadi negara yang disegani serta rakyatnya penuh dengan kebersatuan (sila ke-3).
Untuk itu saya yakin bahwa pasangan Prabowo-Hatta mampu untuk mengembalikan kejayaan bangsa ini. Pasangan capres dan cawapres yang bisa memimpin dengan masyarakat penuh dengan kebijaksanaan (sila ke-4) sehingga semua lapisan masyarakat Indonesia merasakan keadilan (keadilan sosial) di bawah kepememimpinan mereka berdua (sila ke-5).
Teruslah berjuang Prabowo-Hatta. Sudah saatnyalah Indonesia bangkit atas keterpurukan, jayalah Indonesiaku.

#PrabowoHatta #SelamatkanIndonesia #IndonesiaSatu




Jumat, 27 Juni 2014

Solusi Penutupan Lokalisasi


Dilema memang jika melakukan penutupan terhadap lokalisasi yang ada. Mengapa? Jika tidak dibuatkan tempat bagi para pelacur maka mereka akan bebas berkeliaran kesana kemari, sebaliknya jika tempat mereka mangkal dilegalkan oleh pemerintah, maka paling tidak mereka sudah punya tempat untuk mangkal dan para pria hidung belang dengan mudahnya melancarkan bisnis lendirnya. Disadari atau tidak, pemerintah seharusnya harus betul-betul bijak dalam mengambil keputusan terkait masalah lokalisasi. Ide yang bagus jika pemerintah melakukan penutupan terhadap lokalisasi yang kemudian menampung mereka di sebuah tempat khusus. Tentu tempat tersebut bertujuan untuk mengalihkan pekerjaan mereka yang semula melacur menjadi tidak melacur lagi. Di tempat khusus tersebut mereka bisa diberi pembinaan keagamaan serta bekal keterampilan seperti menjahit, menyulam, memasak dan keterampilan lainnya. Sehingga pada akhirnya diharapkan mereka tidak kembali ke profesinya masing-masing. created : Nasrullah


# tulisan ini pernah dimuat oleh Koran Bpost edisi 19 Juni 2014. Namun judul yang dimuat diganti oleh pihak media menjadi “Pemerintah Harus Bijak”. 

Selasa, 03 Juni 2014

Meluruskan yang Sengaja di Bengkokkan

Oleh: Nasrullah, M.Pd.I[1]
Ketika penulis sedang berjalan di sebuah toko buku yang cukup terkenal (gramedia) di kota Bogor. Tiba-tiba penulis dikejutkan dengan sebuah buku yang diberi judul Muhammadiyah itu NU: Dokumen Fiqh yang Terlupakan. Sontak penulis penasaran dalam hati dan bertanya-tanya kira-kira apa isinya? Karena buku masih dalam keadaan tersegel dan tidak boleh dibuka, tanpa fikir panjang penulis pun langsung membawa buku itu dan membayarnya dikasir. Pada awal buku ini bagi penulis sudah menimbulkan berbagai pertanyaan apa benar Muhammadiyah itu NU? Walaupun penulis tidak begitu memahami tentang sejarah dan bagaimana perkembangan Muhammadiyah secara detailnya, paling tidak ada sedikit banyaknya tentang Muhammadiyah ini diketahui penulis. Ketika penulis meneruskan bacaan buku ini, penulis bergumam ini orang yang katanya mau mempersatukan umat Islam terlebih antara Muhammadiyah dan NU khususnya malah mau memperpecah-belah umat!
Pengarangnya mengatakan bahwa dulunya Muhammadiyah sebenarnya seperti NU (walaupun waktu itu NU belum lahir). Hal ini disebabkan kitab fiqih yang dikeluarkan Muhammadiyah pada tahun 1924 adalah kitab fiqh yang pada saat ini digunakan oleh NU (atau isi kitabnya sama dengan isi kitab yang dipakai oleh NU), padahal Muhammadiyah sekarang meninggalkan kitab fiqihnya itu. Terkait ini benar atau tidak allahu a’lam namun yang perlu penulis garis bawahi jikalau toh pendapat ini benar maka hal ini wajar karena fiqih akan selalu mengalami perkembangan dari zaman ke zaman maupun situasi asal dengan syarat masih berpegang teguh kepada Al Qur-an dan As Sunnah. Dan fiqih yang muhammadiyah gunakan bukanlah fiqh yang tidak berlandaskan agama. Amalan-amalan yang di fahami muhammadiyah seperti yang terdapat di dalam buku tanya jawab agama misalnya adalah betul-betul berdasarkan kajian mendalam terhadap agama, dan bukan sembarang jawab.
Lalu adapun beberapa bantahan yang ingin penulis utarakan diantaranya:[2]
1.    Jika memang benar (baca hal 33) ilmu falak sebagai metode hisab dalam pelaksanaan ibadah, penentuan tanggal hijriyah dan lain-lain, tapi mengapa NU sekarang tidak pernah sama dengan Muhammadiyah dalam penentuan awal tahun hijriyah? Atau mungkin NU tidak menggunakan metode hisab? Padahal disebutkan dalam buku ini bahwa Muhammadiyah menggunakan metode hisab dan Muhammadiyah itu NU sedangkan kitab yang dipakai NU adalah kitab Fiqih Muhammadiyah tahun 1924. Seharusnya NU juga menggunakan metode hisab ini. Yang menjadi pertanyaan penulis adalah jika yang ditulis pengarang buku ini mengandung kebenaran maka seharusnya NU menggunakan metode hisab, atau mungkin NU meninggalkan metode ini?
2.    Di hal 24 disebutkan bahwa Muhammadiyah menggunakan dalil-dalil melimpah (khusus buku Tanya jawab agama). Pengarangnya menyatakan:
“buku ini adalah buku sejarah yang sederhana, dalam hal sejarah fiqih, dan karenanya tidak perlu memasang dalil melimpah, ataupun rujukan asing, baik berbahasa Arab maupun Inggris………”

Penulis katakan bahwa wajar jika buku tanya jawab agama ini banyak memberikan dalil supaya hukumnya jelas, bukankah dalam berfatwa harus berlandaskan ilmu?, dan rujukan yang harus dipegang kuat adalah Al Qur’an dan As Sunnah sedangkan pendapat para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in.
3.    Allahu A’lam Muhammadiyah pada awalnya benar menggunakan mazhab Imam Syafi’i atau tidak namun yang perlu peulis garis bawahi memang benar bahwa Muhammdiyah tidak bermazhab namun Muhammadiyah bisa saja mengambil pendapat dari pada imam mazhab selama dalil yang dikemukakan kuat dan lebih kuat dari dalil lainnya. Imam Syafi’i sendiri pun beserta para imam mazhab lainnya seperti Imam Hanafi, Malik, dan Hanbal sebenarnya pernah mengatakan yang intinya jangan mengambil pendapat mereka yang bertentangan dengan mereka. Imam Syafi’i menyatakan mazhabku adalah apa yang sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah.  
4.    Ada halaman yang menyebutkan kemungkinan/mungkin seperti di halaman 59. Di sana tertulis kemungkinan. Dari kata tersebut menyatakan keragu-raguan pengarang terhadap apa yang ia tulis.
5.    Penggunaan kata Wahabi hanya digunakan oleh orang-orang yang tidak senang dengan dakwahnya syaikh Muhammad Abdul Wahab. Dalam bukunya pengarang juga menggunakan kata tersebut yang berarti menurut penulis, pengarang juga tidak sejalan dengan pemikirannya Syaikh Muhammad Abdul Wahab. Yang mana ini nanti sebelumnya erat kaitannya dengan pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam perihal bahasan tentang pembaharuan atau tajdid.
6.    Sepertinya pengarangnya juga menganggap KH. Ahmad Dahlan lebih mengutamakan para sahabatnya, muridnya serta orang-orang yang nantinya meneruskan perjuangan beliau dan juga pengarang buku ini merendahkan penerus beliau seperti KH. Mas Mansur (silahkan lihat halaman 60).
7.    Di halaman 64 disebutkan seolah-olah antara Muhammadiyah dan NU berselisih hanya karena label pembaharu dan tradisional. Padahal sejauh pengetahuan penulis tidak sama sekali dan apa yang dinyatakan oleh pangarang buku ini jauh sekali dari kenyataan yang sebenarnya, justru para ulama Muhammadiyah dulunya dan sampai sekarang Insyaallah selalu menjaga silaturahim dengan NU.

Perlu penulis tegaskan lagi bahwa sebenarnya bagi penulis, perbedaan pendapat dalam masalah fiqih tidak menjadi masalah selama masing-masing mempunyai dalil yang kuat dan tetap berpegang kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Sepertinya pengarang buku ini memang tidak faham tentang apa Muhammadiyah itu ya karena memang mungkin ga mau faham dan memang sengaja untuk memprovokasi baik dari kalangan Muhammadiyah maupun NU khususnya serta ormas-ormas lainnya.  Padahal yang dibahas dalam buku ini adalah permasalahan fiqhiyah saja antara Muhammadiyah dan NU. Sampai-sampai demi hawa nafsunya pengarang buku ini berusaha untuk menebarkan kebencian dikalangan umat Islam dengan hanya membahas masalah fiqih. Masyaallah padahal pada halaman-halaman awal buku ini pengarang menyebutkan bahwa masalah perbedaan dalam fiqih sebenarnya sudah ada sejak dahulu dan ini sudah biasa dan hal ini tidak masalah . Tapi mengapa ketika terjadi perbedaan pendapat antara fiqih Muhammadiyah 1924 yang sekarang menjadi Majelis Tarjih dengan fiqihnya NU, maka justru pengarang malah mempermasalahkannya? Aneh bukan? Kecuali terjadi perbedaan aqidah atau Muhammadiyah sudah menyimpang dari aqidah yang benar misalkan memperbolehkan bertawasul kepada patung, dan inilah yang seharusnya yang menjadi masalah. Tidak ada yang mempermasalahkan masalah fiqh kecuali orang yang hanya ingin membuat perpecahan atau ia tidak faham tentang ukhuwah Islamiyah itu sendiri. Allahu A’lam



[1] Alumni Pondok Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta 2012 (S1) dan mahasiswa alumni Pondok Pesantren Mahasiswa dan Sarjana Ulil AlBaab (PPMS) fakultas pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor 2014.
[2] Bantahan ini penulus buat hanyalah untuk meluruskan apa yang belum difahami oleh pengarangnya dan juga masyarakat ada umumnya. 

Rabu, 26 Februari 2014

Memaksimalkan Pendidikan di Banua


Oleh: Nasrullah, S.Pd.I[1]
Saat ini di Indonesia, telah banyak kasus-kasus yang mencengangkan masyarakat kita. Sebagai salah satu contoh adalah banyaknya kasus-kasus tawuran, perkelahian, tindakan kriminal serta anarkis lainnya. Informasi ini dengan mudahnya bisa didapatkan melalui media-media sosial seperti surat kabar, koran, majalah, radio, televisi dan juga internet serta media-media sosial lainnya. Hal ini terjadi karena memang para pelajar, siswa maupun mahasiswa kurang mendapatkan pendidikan yang dapat menangkis itu semua, hal ini tidak hanya menimpa para pelajar saja tapi ini juga menimpa para orang-orang yang ada pada tingkat pemerintahan sekalipun seperti kasus-kasus korupsi yang belakangan ini marak terjadi, makanya pemerintah saat ini menggalakkan pendidikan yang dinamai dengan pendidikan karakter di setiap jenjang sekolah. Patut kita syukuri bersama bahwa di Kalimatan Selatan banua kita, masalah atau kasus-kasus kriminal lainnya cukup minim dibandingkan dengan kasus-kasus yang ada di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan kota-kota besar lainnya. Mungkin hal ini dapat dimaklumi karena pergaulan di kota-kota besar tersebut sangatlah bebas sehingga akibat pergaulan yang bebas itulah memunculkan hilangnya adab ataupun tata krama serta perilaku yang bertentangan dengan norma agama maupun masyarakat sehingga pada ujungnya perilaku yang dalam istilah sosiologi disebut dengan perilaku menyimpang ini menjadikan masyarakat resah dan merasa dihantui oleh aksi-aksi kejahatan.
Untuk menyelamatkan anak-anak yang ada di banua kita, maka sangat bagus untuk memaksimalkan pendidikan yang sudah ada ataupun membuat sebuah lembaga pendidikan yang baru dengan susunan kurikulum yang dapat membangun karakter anak-anak di banua. Karakter bisa juga disamakan dengan akhlak namun bisa juga antara keduanya dibedakan. Alasannya karena karakter bersumber dari Barat sedangkan kata akhlak bersumber dari Islam. Tentu banua kita yang mayoritas umat Islam harusnya menggunakan kata akhlak ini untuk pembinaan anak-anak yang lebih baik khususnya dalam hal pendidikan. Pendidikan merupakan bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja namun juga merupakan tanggung jawab bersama, tanggung jawab orang tua, lingkungan dan juga masyarakat. Jika berbicara tentang pendidikan tentu tidak habis-habisnya, makanya Ahmad Tafsir[2] dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islami menyebutkan bahwa “setiap orang berhak berbicara tentang pendidikan”. Maka pada intinya adalah pendidikan mampu memberikan kontribusi terbaik dalam mengatasi semua permasalahan di atas, dan tentu pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan Islam.


[1] Mahasiswa pascasarjana jurusan pendidikan dan pemikiran Islam semester III di Universitas Ibn Khaldun Bogor.
[2] Lahir di Bengkulu tahun 1942. Spesialisasi beliau adalah di bidang pendidikan Islam. Beliau adalah seorang guru besar Pendidikan Islam di Universitas Islam Negeri Bandung dan Universitas Ibn Khaldun Bogor.


Senin, 13 Januari 2014

Interaksi Dengan Al-Qur'an


Oleh: Nasrullah
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor,
Jurusan Pemikiran dan Pendidikan Islam semester III

Al-Qur’an diturunkan memiliki banyak fungsi, di antara fungsinya adalah sebagai huda (petunjuk). Petunjuk bagi seluruh umat manusia termasuk jin sekalipun al-Qur’an tetap sebagai petunjuk pedoman shirathal mustaqim (jalan yang lurus). Siapa saja yang berpaling dari al-Qur’an maka sudah dipastikan ia tersesat, dan siapa saja yang selalu berpegang teguh terhadapnya, selalu memegang, berpedoman padanya, maka ia akan mendapatkan petunjuk. Dalam memahami al-Qur’an diperlukanlah sebuah alat, di antara alat tersebut adalah bahasa Arab. Dengan bahasa Arab, maka seseorang akan mudah untuk memahami al-Qur’an. Karena al-Qur’an diturunkan oleh Allah dalam bahasa Arab dan tentu bagi siapa saja yang ingin berinteraksi dengannya harus bisa berbahasa Arab.
Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya Kaifa Nata’ammalu Ma’a al-Qur’an al-Azhim? Menyebutkan bahwa “di antara tuntutan tadabbur  al-Qur’an adalah agar kaum Muslimin berdialog dan berinteraksi dengan al-Qur’an yang ia baca dengan akal dan hatinya”. Ini berarti bahwa untuk berinteraksi dengan al-Qur’an membutuhkan perenungan, keseriusan, mencurahkan segala hatinya untuk memahami setiap ayat yang ia baca. Dengan mengerahkan kemampuannya tadi maka ia berarti telah berdialog dan berinteraksi dengan al-Qur’an. Allah swt menurunkan al-Qur’an untuk ditadabburi ayat-ayatnya serta difahami makna yang terkandung di dalamnya. Dengan begitu seseorang akan mendapatkan petunjuk dan tidak akan tersesat dari jalan yang dikehendaki Allah swt yaitu jalan yang diridhai-Nya untuk selama-lamanya. Mengenai tadabbur Allah swt berfirman yang artinya “ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” (Q.S: Shad: 29).
Lalu bagaimana cara untuk lebih memahami al-Qur’an, supaya al-Qur’an lebih meresap, merasuk dalam jiwa kita selain cara merenungkan setiap ayat-ayat tadi? Caranya adalah yaitu tadi dengan memahami bahasa Arab. Dengan bahasa Arab, maka al-Qur’an akan lebih difahami. Dengan bahasa Arab pulalah seseorang akan mudah untuk berinteraksi dengannya berarti dalam memahami al-Quran tidak cukup dengan membaca terjemahannya saja. Para sahabat Rasulullah saw saja mereka tidak akan meneruskan bacaan ataupun hafalan mereka jika mereka belum memahami sepenuhnya maksud dari surat ataupun ayat yang mereka baca. Ini menandakan keseriusan mereka dalam mengkaji serta merenungkan makna dari ayat-ayat al-Qur’an.
Kemudian cara yang  lain untuk berinteraksi dengan al-Qur’an yaitu dengan cara menghafalnya termasuk selalu mendengarkannya. Bagaimana mungkin orang yang ingin berinteraksi dengan al-Qur’an tidak membacanya? Mustahil kan? Selain memaca, menghafal adalah diantara cara untuk berinteraksi dengan al-Qur’an. Kemudian setelah membaca, menghafal, mendengarkan bacaannya yang disusul dengan mentadabburinya, maka hal yang harus dilakukan adalah pengamalan dari ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Namun yang ingin penulis tekankan dalam hal berinteraksi dengan al-Qur’an adalah kemampuan yang cukup di dalam membacanya. Jadi siapa saja berhak untuk berinteraksi dengan al-Qur’an khususnya tadabbur al-Qur’an, entah anak-anak maupun orang tua sekalipun. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Syaikh Prof. Dr. Naseer al-Omar, ketua lembaga Tadabbur Al Qur’an internasional.  Allahu A’lam.


Evaluasi Hari Ibu


Oleh: Nasrullah, S.Pd.I
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor,
Jurusan Pemikiran dan Pendidikan Islam

Tulisan ini hanya sekedar mengevaluasi hari ibu yang orang-orang kadang lupa dan kadang pula ingat akan hari itu entah sengaja melupakannya atau memang benar-benar lupa. Hari ibu, termasuk hari-hari dengan penamaan lainnya seperti hari pahlawan, hari kebangkitan nasional, hari guru dan hari-hari lainnya tentu memiliki makna atau menyimpan sebuah kenangan yang indah ataupun sebaliknya. Umpamanya hari guru, mungkin hari itu menandakan hari yang penuh dengan sejarah, moment yang penting, tidak bisa untuk dilupakan yang orang-orang harus memperingatinya atau tidak, dan begitu juga hari ibu. Jika melihat pengorbanan seorang ibu untuk anak-anaknya, dimulai ia mengandung, melahirkan sampai mendidik anak-anaknya sampai saat ini patut untuk diberikan penghargaan. Penghargaan yang tidak akan pernah bisa dibalas oleh anak-anaknya, karena kasih sayangnya yang tulus. Maka tidak salah jika ada sebuah lagu yang sudah popular dari dulu hingga sekarang “kasih ibu sepanjang beta tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia”.
Kasih seorang ibu yang tidak pernah lelah, dia rela mengalah, tidak tidur sepanjang malam kecuali sedikit, tidak pernah mengeluh, selalu tersenyum dihadapan anak-anaknya walaupun ia merasakan beratnya tanggung jawab sebagai seorang ibu. Dan itulah seorang ibu, ia rela berkorban untuk kita semua. Namun sangat disayangkan ketika ada anak yang membangkang terhadap perintah ibunya, ia tega mencaci maki ibunya, menghardiknya, bahkan sampai membunuhnya disebabkan karena keinginannya yang tidak dipenuhi oleh ibunya. Sangat memprihatinkan memang kondisi anak-anak sekarang yang banyak bertingkah seperti itu, bertindak kasar, masa bodoh terhadap ibunya. Apakanya yang salah? Apakah didikan ibunya yang salah, atau karena anaknya yang memang benar-benar tidak mau dididik? Maka tidak salah memang pepatah yang mengatakan “air susu dialas dengan air tuba” yang berarti bisa disandingkan/diartikan dengan kondisi saat ini bahwa kebaikan-kebaikan yang telah seorang ibu berikan malah dibalas dengan keburukan.
Kadang orang merelakan waktu untuk sang pacar. Ia menghabiskan hari-harinya bersamanya. Mungkin juga disibukkan dengan pekerjaannya. Tapi bagaimana dengan ibunya? Ia justru malah mencampakkannya, ia tidak ingat bagaimana dulunya perjuangan ibu dalam mengasuhnya, merawatnya hingga bisa berhasil menjadi sarjana. Apalah gunanya gelar jika ia tidak berbakti kepada ibunya? Sadarlah putera puteri bangsaku, kembalilah kepada ibumu, temui ia, berbaktilah kepadanya selagi kalian dan ia masih ada di kehidupan ini. Memang kadang anak serba salah dalam berbuat kebaikan terhadap ibunya. Mengapa? Kadang-kadang ada juga ibu yang tega terhadap anak-anaknya, menyiksa bahkan membunuh darah dagingnya sendiri. Coba lihat betapa malangnya anak-anak yang tidak berdosa, setelah kelahirannya mereka tidak mendapat pengakuan dari ibunya, ia dibuang begitu saja, di tempat sampah, di semak-semak dan tempat-tempat buruk lainnya yang seharusnya anak bersama ibunya.  
Kadang ketika anak-anak seperti itu sudah tumbuh dewasa, maka ia mulai berfikir dan bertanya-tanya “di manakah ibunya? Segitu tegakah ibunya menitipkannya di panti asuhan? Apa kesalahan yang ia perbuat hingga saat ini ia tidak pernah bertemu dengan ibunya? Apa sebenarnya yang menjadikan ibunya tega dan rela meninggalkannya begitu saja? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Dan memang sejahat apapun orang tua khususnya ibu, tentu ia tidak menginginkan anaknya menjadi jahat. Namun terkadang nafsu jahatnya lah yang menyebabkan ia berbuat melanggar hati nuraninya sendiri begitu juga anak yang melupakan ibunya. Hati nurani yang bersih seorang ibu tentu tidak akan pernah berbuat demikian terhadap anak-anaknya.
Beberapa hari yang lalu, di salah satu media cetak beredar sebuah berita seorang ibu tiri yang tega berbuat aniaya terhadap anaknya bahkan tega membunuhnya. Atas dasar apa ia berbuat seperti itu? Apakah karena kenakalan anaknya? Penulis rasa jika seorang anak berbuat sedikit nakal, karena ia masih berada dalam masa-masa pertumbuhan, jadi wajar saja karena anak-anak masih belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana hal-hal yang tidak boleh/perlu dilakukan oleh anak seusianya bahkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang dewasa maupun orang tua, dan sekali lagi penulis katakan ini wajar, justru dengan perilaku anaknya seperti itulah seorang ibu harus membimbingnya. Namun yang ingin penulis katakan di sini adalah seberapa jahat seorang ibu, maka seorang anak harus tetap berbuat baik kepadanya, tetap berbakti. Karena jasa-jasanya yang tidak akan pernah bisa untuk diganti dengan sesuatu apapun kecuali dengan cara membahagiakannya, dan itupun penulis rasa masih sangat kurang, jauh sekali dari pada jasa-jasa yang telah ia berikan kepada anak-anaknya.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan seorang ibu ataupun anak-anaknya, namun hanya sebagai bahan evaluasi. Yaitu sudah sejauh mana peran seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya dan sejauh mana bakti anak-anaknya terhadap ibunya yang sudah melahirkan, mendidik serta membesarkannya sampai saat ini. Dan mungkin di hari ibu-lah semua itu akan mengingatkan akan jasa-jasa seorang ibu. Walaupun sebenarnya berbakti, berbuat kebaikan terhadap ibu tidaklah mengenal tempat dan waktu, kapan dan di manapun, tapi seoarang anak harus berbakti dengan penuh kesungguhan selama sisa hidupnya. Hari ibu, 22 Desember adalah hari yang mungkin penuh dengan sejarah. Salah jika seorang anak hanya mengucapkan “selamat hari ibu” pada waktu itu saja, namun bagaimana hari-hari lainnya? Apakah hanya dengan mengucapkan “selamat hari ibu” itu sudah mewakili berbaktinya seorang anak terhadap ibunya? Penulis rasa ini tidak, dan inilah yang menjadi permasalahan kita bersama. Hari ibu hanyalah sebagai peringatan/mengingatkan kembali bagi orang-orang yang jauh dari ibunya, jauh dari berbakti kepadanya, hari yang diharapkan dapat menyadarkan kembali bagi mereka yang lupa akan ibunya, lupa akan jasa-jasa serta kebaikan-kebaikan yang selama ini diberikan kepadanya.
Kadang anak lupa kepada ibunya ketika ia sudah menduduki, atau mendapatkan pekerjaan, kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan misalnya. Tapi ingatlah,  semua ini tidak lepas dari campur tangan seorang ibu. Di balik kesukesan seorang anak, ada seseorang yang senantiasa mendorongnya, memberikan semangat dan do’a, ialah orang-orang terdekatnya khususnya “IBU”.  Ibu adalah seorang sosok yang luar biasa, dengan kasih sayangnya ia rela mati untuk membela anak-anaknya ketika bahaya mengancam. Ia pertaruhkan nyawanya hanya untuk melindungi anak-anaknya yang ia sayangi, dan sungguh ironis dan mengecewakan jika ada anak yang durhaka terhadap ibunya. Maka jangan sekali-kali kita mengecewakan ibu kita, jika hal itu terjadi maka segeralah meminta maaf kepadanya dan segera memperbaiki kesalahan yang telah kita perbuat. Karena dengan mengecewakannya, berarti kita telah mengundang murka Tuhan. Mengapa? Karena dengan kekecewaannya bisa saja jalan hidup kita tidak akan mulus, hidup penuh dengan kesulitan, terombang ambing dalam banyaknya permasalahan hidup yang tidak kunjung selesai dan masalah lainnya.   
Jika seoang ibu sudah mengalami usia lanjut, wajar jika ia memiliki sikap atau sifat sensitif. Memang ada juga anak yang tidak mau mengakui ibunya, hal ini disebabkan beberapa faktor. Bisa jadi karena ia sudah sukses menjadi jutawan punya mobil mewah, istri cantik, anak-anak yang cerdas, sedangkan ibunya? Miskin, tidak punya apa-apa, lantas anak ini tidak mau mengakui ibunya sendiri entah karena apa, entah malu atau lupa? Atau sengaja melupakan ibunya? Cukuplah kisah “Malin Kundang” menjadi pelajaran bagi kita bersama. Dan anak yang baik adalah anak yang selalu ingat kepada ibunya, anak yang selalu berusaha untuk membanggakan ibunya, membahagiakannya dengan segenap jiwa raga. Jadi intinya adalah berbakti kepada orang tua khususnya ibu adalah hal yang harus dilakukan, tidak mengenal tempat, ruang dan waktu, kapan dan dimanapun kita berada tetap harus berbakti kepadanya. Berbakti kepadanya tidak hanya pada hari tertentu saja tapi sepanjang zaman selagi hayat masih dikandung badan. Lalu bagaimana jika orang tua telah tiada? Maka bagi orang Islam yang dilakukan adalah menyambung tali “silaturrahim” terhadap saudara, kaarib kerabat dari orang tua termasuk teman-teman mereka dan senantiasa mendo’akan mereka. Mendo’akan tidak hanya ketika mereka ada tapi ketika mereka tiada pun mereka haruslah tetap dido’akan untuk kebaikan dunia dan akhirat atas jasa-jasa mereka yang sangat luar biasa bagi kehidupan anak-anaknya. Allahu A'lam


Muhasabah vs Hura-hura



Oleh: Nasrullah, S.Pd.I
Mahasiswa Pascasarjana,
Jurusan Pemikiran dan Pendidikan Islam
Universitas Ibn Khaldun Bogor


Muhasabah bisa kita artikan sebagai instropeksi, dan muhasabah bisa juga diartikan sebagai evaluasi diri. Evaluasi? Evaluasi bisa dikatakan sebagai proses penilaian/menilai. Berarti muhasabah bisa dimaksudkan dengan mengevaluasi. Muhasabah berarti kita merenungkan kembali segala amal perbuatan yang telah kita lakukan, seberapa banyak amal kebaikan dan keburukan yang telah kita lakukan selama satu hari ini. Sudahkah kita merenungkannya? Padahal Allah swt mengingatkan kepada hamba-hambaNya untuk selalu bermuhasabah, instropeksi diri atas apa yang telah kita lakukan dan apakah bekal yang kita lakukan sudah cukup layak untuk menggapai kebahagiaan akhirat? Lihat (Q.S al-Hasyr: 18).
Pada saat ini sebentar lagi dengan hitungan hari maupun jam saja orang-orang akan merasakan pergantian tahun dari 2013 ke tahun 2014. Sebuah pergantian tahun yang seringkali ditunggu-tunggu banyak orang. Selain tasyakuran, selamatan karena masih diberikan umur yang panjang namun ada juga sebagian orang yang mengisi pergantian tahun dengan acara hura-hura, berfoya-foya dan agenda-agenda mubadzir lainnya. Berapa dana yang sudah dikeluarkan hanya untuk perbuatan mubadzir ini. Banyak yang tidak sadar akan sebenarnya semakin tahun semakin berkuranglah umurnya, berarti jatah atau sisa hidupnya di dunia semakin berkurang. Apakah tidak sebaiknya dana-dana yang dikeluarkan untuk acara tersebut dialih fungsikan untuk menyantuni anak-anak yatim misalnya? Atau untuk orang-orang yang lebih membutuhkan lainnya. Jika dialih fungsikan seperti itu maka tentu akan banyak sekali manfaat yang didapat. Selain ia mendapatkan pahala, juga akan memberikan kebahagiaan terhadap orang yang santuni serta manfaat-manfaat lainnya.
Sekali lagi fenomena ini adalah fenomena tiap tahunnya dilakukan dan disaksikan oleh banyak orang entah di daerah manapun. Sangat menyedihkan dan mengerikan ketika malam itu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Suatu hal yang jelas-jelas melanggar agama yaitu pesta minum-minuman keras, narkoba, perzinahan, dan tindak kriminal lainnya. Namun disela-sela itu/pada malam itu juga banyak orang-orang yang melakukan kegiatan dzikir jama’i (dzikir bersama-sama) dalam rangka bermuhasabah diri. Dan ini lah yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang beriman tatkala ingin meningkatkan keimanan mereka. Dzikir merupakan salah satu cara untuk muhasabah. Mengingat kembali dosa-dosa lalu yang pernah dilakukannya.
Islam mengajarkan agar selalu muhasabah. Muhasabah tidak hanya dilakukan tiap tahun tapi harusnya muhasabah ini dilakukan tiap harinya bahkan kalau perlu tiap jam, tiap detik nafas yang berhembus. Muhasabah bisa dilakukan setiap malam ketika akan tidur atau ketika setiap shalat wajib maupun sunnha seperti shalat malam misalnya, dengan begitu diharapkan seseorang yang siangnya melakukan maksiat, keesokan harinya tidak melakukan maksiat, atau orang yang siangnya sudah melakukan amal kebaikan, maka keesokan harinya diharapkan bisa meningkatkan amal kebaikannya. Dan orang yang telah melakukan kebaikan-kebaikan bisa lebih meningkatkan dan menambah kebaikan-kebaikan lainnya lebih banyak lagi. Sangat bagus pepatah Arab untuk kita renungkan bersama “berbuat/beramallah untuk duniamu seolah-olah engkau hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah engkau mati besok”.
Pepatah Arab ini mengajarkan kepada kita bahwa hendaknya setiap orang selalu beramal untuk kebaikannya di dunia dan akhirat. Bekerja untuk dunia namun tidak melupakan akhirat. Bekerja di dunia adalah sebagai bekal nantinya di akhirat. Sehingga dengan bekal yang banyak (takwa) maka itulah sebaik-baik bekal yang menghantarkannya kepada kebahagiaan akhirat. Dari sini juga hendaknya seseorang memperhatikan amal perbuatannya yang baik-baik (amal shaleh). Sudahkah amal-amal kita mendapat ridho dari Allah swt atau sebaliknya? Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk untuk berada pada jalan yang diridhoiNya. Allahu A’lam.