Analog 0018b

Entri Populer

Senin, 13 Januari 2014

Evaluasi Hari Ibu


Oleh: Nasrullah, S.Pd.I
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor,
Jurusan Pemikiran dan Pendidikan Islam

Tulisan ini hanya sekedar mengevaluasi hari ibu yang orang-orang kadang lupa dan kadang pula ingat akan hari itu entah sengaja melupakannya atau memang benar-benar lupa. Hari ibu, termasuk hari-hari dengan penamaan lainnya seperti hari pahlawan, hari kebangkitan nasional, hari guru dan hari-hari lainnya tentu memiliki makna atau menyimpan sebuah kenangan yang indah ataupun sebaliknya. Umpamanya hari guru, mungkin hari itu menandakan hari yang penuh dengan sejarah, moment yang penting, tidak bisa untuk dilupakan yang orang-orang harus memperingatinya atau tidak, dan begitu juga hari ibu. Jika melihat pengorbanan seorang ibu untuk anak-anaknya, dimulai ia mengandung, melahirkan sampai mendidik anak-anaknya sampai saat ini patut untuk diberikan penghargaan. Penghargaan yang tidak akan pernah bisa dibalas oleh anak-anaknya, karena kasih sayangnya yang tulus. Maka tidak salah jika ada sebuah lagu yang sudah popular dari dulu hingga sekarang “kasih ibu sepanjang beta tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia”.
Kasih seorang ibu yang tidak pernah lelah, dia rela mengalah, tidak tidur sepanjang malam kecuali sedikit, tidak pernah mengeluh, selalu tersenyum dihadapan anak-anaknya walaupun ia merasakan beratnya tanggung jawab sebagai seorang ibu. Dan itulah seorang ibu, ia rela berkorban untuk kita semua. Namun sangat disayangkan ketika ada anak yang membangkang terhadap perintah ibunya, ia tega mencaci maki ibunya, menghardiknya, bahkan sampai membunuhnya disebabkan karena keinginannya yang tidak dipenuhi oleh ibunya. Sangat memprihatinkan memang kondisi anak-anak sekarang yang banyak bertingkah seperti itu, bertindak kasar, masa bodoh terhadap ibunya. Apakanya yang salah? Apakah didikan ibunya yang salah, atau karena anaknya yang memang benar-benar tidak mau dididik? Maka tidak salah memang pepatah yang mengatakan “air susu dialas dengan air tuba” yang berarti bisa disandingkan/diartikan dengan kondisi saat ini bahwa kebaikan-kebaikan yang telah seorang ibu berikan malah dibalas dengan keburukan.
Kadang orang merelakan waktu untuk sang pacar. Ia menghabiskan hari-harinya bersamanya. Mungkin juga disibukkan dengan pekerjaannya. Tapi bagaimana dengan ibunya? Ia justru malah mencampakkannya, ia tidak ingat bagaimana dulunya perjuangan ibu dalam mengasuhnya, merawatnya hingga bisa berhasil menjadi sarjana. Apalah gunanya gelar jika ia tidak berbakti kepada ibunya? Sadarlah putera puteri bangsaku, kembalilah kepada ibumu, temui ia, berbaktilah kepadanya selagi kalian dan ia masih ada di kehidupan ini. Memang kadang anak serba salah dalam berbuat kebaikan terhadap ibunya. Mengapa? Kadang-kadang ada juga ibu yang tega terhadap anak-anaknya, menyiksa bahkan membunuh darah dagingnya sendiri. Coba lihat betapa malangnya anak-anak yang tidak berdosa, setelah kelahirannya mereka tidak mendapat pengakuan dari ibunya, ia dibuang begitu saja, di tempat sampah, di semak-semak dan tempat-tempat buruk lainnya yang seharusnya anak bersama ibunya.  
Kadang ketika anak-anak seperti itu sudah tumbuh dewasa, maka ia mulai berfikir dan bertanya-tanya “di manakah ibunya? Segitu tegakah ibunya menitipkannya di panti asuhan? Apa kesalahan yang ia perbuat hingga saat ini ia tidak pernah bertemu dengan ibunya? Apa sebenarnya yang menjadikan ibunya tega dan rela meninggalkannya begitu saja? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Dan memang sejahat apapun orang tua khususnya ibu, tentu ia tidak menginginkan anaknya menjadi jahat. Namun terkadang nafsu jahatnya lah yang menyebabkan ia berbuat melanggar hati nuraninya sendiri begitu juga anak yang melupakan ibunya. Hati nurani yang bersih seorang ibu tentu tidak akan pernah berbuat demikian terhadap anak-anaknya.
Beberapa hari yang lalu, di salah satu media cetak beredar sebuah berita seorang ibu tiri yang tega berbuat aniaya terhadap anaknya bahkan tega membunuhnya. Atas dasar apa ia berbuat seperti itu? Apakah karena kenakalan anaknya? Penulis rasa jika seorang anak berbuat sedikit nakal, karena ia masih berada dalam masa-masa pertumbuhan, jadi wajar saja karena anak-anak masih belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana hal-hal yang tidak boleh/perlu dilakukan oleh anak seusianya bahkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang dewasa maupun orang tua, dan sekali lagi penulis katakan ini wajar, justru dengan perilaku anaknya seperti itulah seorang ibu harus membimbingnya. Namun yang ingin penulis katakan di sini adalah seberapa jahat seorang ibu, maka seorang anak harus tetap berbuat baik kepadanya, tetap berbakti. Karena jasa-jasanya yang tidak akan pernah bisa untuk diganti dengan sesuatu apapun kecuali dengan cara membahagiakannya, dan itupun penulis rasa masih sangat kurang, jauh sekali dari pada jasa-jasa yang telah ia berikan kepada anak-anaknya.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan seorang ibu ataupun anak-anaknya, namun hanya sebagai bahan evaluasi. Yaitu sudah sejauh mana peran seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya dan sejauh mana bakti anak-anaknya terhadap ibunya yang sudah melahirkan, mendidik serta membesarkannya sampai saat ini. Dan mungkin di hari ibu-lah semua itu akan mengingatkan akan jasa-jasa seorang ibu. Walaupun sebenarnya berbakti, berbuat kebaikan terhadap ibu tidaklah mengenal tempat dan waktu, kapan dan di manapun, tapi seoarang anak harus berbakti dengan penuh kesungguhan selama sisa hidupnya. Hari ibu, 22 Desember adalah hari yang mungkin penuh dengan sejarah. Salah jika seorang anak hanya mengucapkan “selamat hari ibu” pada waktu itu saja, namun bagaimana hari-hari lainnya? Apakah hanya dengan mengucapkan “selamat hari ibu” itu sudah mewakili berbaktinya seorang anak terhadap ibunya? Penulis rasa ini tidak, dan inilah yang menjadi permasalahan kita bersama. Hari ibu hanyalah sebagai peringatan/mengingatkan kembali bagi orang-orang yang jauh dari ibunya, jauh dari berbakti kepadanya, hari yang diharapkan dapat menyadarkan kembali bagi mereka yang lupa akan ibunya, lupa akan jasa-jasa serta kebaikan-kebaikan yang selama ini diberikan kepadanya.
Kadang anak lupa kepada ibunya ketika ia sudah menduduki, atau mendapatkan pekerjaan, kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan misalnya. Tapi ingatlah,  semua ini tidak lepas dari campur tangan seorang ibu. Di balik kesukesan seorang anak, ada seseorang yang senantiasa mendorongnya, memberikan semangat dan do’a, ialah orang-orang terdekatnya khususnya “IBU”.  Ibu adalah seorang sosok yang luar biasa, dengan kasih sayangnya ia rela mati untuk membela anak-anaknya ketika bahaya mengancam. Ia pertaruhkan nyawanya hanya untuk melindungi anak-anaknya yang ia sayangi, dan sungguh ironis dan mengecewakan jika ada anak yang durhaka terhadap ibunya. Maka jangan sekali-kali kita mengecewakan ibu kita, jika hal itu terjadi maka segeralah meminta maaf kepadanya dan segera memperbaiki kesalahan yang telah kita perbuat. Karena dengan mengecewakannya, berarti kita telah mengundang murka Tuhan. Mengapa? Karena dengan kekecewaannya bisa saja jalan hidup kita tidak akan mulus, hidup penuh dengan kesulitan, terombang ambing dalam banyaknya permasalahan hidup yang tidak kunjung selesai dan masalah lainnya.   
Jika seoang ibu sudah mengalami usia lanjut, wajar jika ia memiliki sikap atau sifat sensitif. Memang ada juga anak yang tidak mau mengakui ibunya, hal ini disebabkan beberapa faktor. Bisa jadi karena ia sudah sukses menjadi jutawan punya mobil mewah, istri cantik, anak-anak yang cerdas, sedangkan ibunya? Miskin, tidak punya apa-apa, lantas anak ini tidak mau mengakui ibunya sendiri entah karena apa, entah malu atau lupa? Atau sengaja melupakan ibunya? Cukuplah kisah “Malin Kundang” menjadi pelajaran bagi kita bersama. Dan anak yang baik adalah anak yang selalu ingat kepada ibunya, anak yang selalu berusaha untuk membanggakan ibunya, membahagiakannya dengan segenap jiwa raga. Jadi intinya adalah berbakti kepada orang tua khususnya ibu adalah hal yang harus dilakukan, tidak mengenal tempat, ruang dan waktu, kapan dan dimanapun kita berada tetap harus berbakti kepadanya. Berbakti kepadanya tidak hanya pada hari tertentu saja tapi sepanjang zaman selagi hayat masih dikandung badan. Lalu bagaimana jika orang tua telah tiada? Maka bagi orang Islam yang dilakukan adalah menyambung tali “silaturrahim” terhadap saudara, kaarib kerabat dari orang tua termasuk teman-teman mereka dan senantiasa mendo’akan mereka. Mendo’akan tidak hanya ketika mereka ada tapi ketika mereka tiada pun mereka haruslah tetap dido’akan untuk kebaikan dunia dan akhirat atas jasa-jasa mereka yang sangat luar biasa bagi kehidupan anak-anaknya. Allahu A'lam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar