Analog 0018b

Entri Populer

Selasa, 03 Juni 2014

Meluruskan yang Sengaja di Bengkokkan

Oleh: Nasrullah, M.Pd.I[1]
Ketika penulis sedang berjalan di sebuah toko buku yang cukup terkenal (gramedia) di kota Bogor. Tiba-tiba penulis dikejutkan dengan sebuah buku yang diberi judul Muhammadiyah itu NU: Dokumen Fiqh yang Terlupakan. Sontak penulis penasaran dalam hati dan bertanya-tanya kira-kira apa isinya? Karena buku masih dalam keadaan tersegel dan tidak boleh dibuka, tanpa fikir panjang penulis pun langsung membawa buku itu dan membayarnya dikasir. Pada awal buku ini bagi penulis sudah menimbulkan berbagai pertanyaan apa benar Muhammadiyah itu NU? Walaupun penulis tidak begitu memahami tentang sejarah dan bagaimana perkembangan Muhammadiyah secara detailnya, paling tidak ada sedikit banyaknya tentang Muhammadiyah ini diketahui penulis. Ketika penulis meneruskan bacaan buku ini, penulis bergumam ini orang yang katanya mau mempersatukan umat Islam terlebih antara Muhammadiyah dan NU khususnya malah mau memperpecah-belah umat!
Pengarangnya mengatakan bahwa dulunya Muhammadiyah sebenarnya seperti NU (walaupun waktu itu NU belum lahir). Hal ini disebabkan kitab fiqih yang dikeluarkan Muhammadiyah pada tahun 1924 adalah kitab fiqh yang pada saat ini digunakan oleh NU (atau isi kitabnya sama dengan isi kitab yang dipakai oleh NU), padahal Muhammadiyah sekarang meninggalkan kitab fiqihnya itu. Terkait ini benar atau tidak allahu a’lam namun yang perlu penulis garis bawahi jikalau toh pendapat ini benar maka hal ini wajar karena fiqih akan selalu mengalami perkembangan dari zaman ke zaman maupun situasi asal dengan syarat masih berpegang teguh kepada Al Qur-an dan As Sunnah. Dan fiqih yang muhammadiyah gunakan bukanlah fiqh yang tidak berlandaskan agama. Amalan-amalan yang di fahami muhammadiyah seperti yang terdapat di dalam buku tanya jawab agama misalnya adalah betul-betul berdasarkan kajian mendalam terhadap agama, dan bukan sembarang jawab.
Lalu adapun beberapa bantahan yang ingin penulis utarakan diantaranya:[2]
1.    Jika memang benar (baca hal 33) ilmu falak sebagai metode hisab dalam pelaksanaan ibadah, penentuan tanggal hijriyah dan lain-lain, tapi mengapa NU sekarang tidak pernah sama dengan Muhammadiyah dalam penentuan awal tahun hijriyah? Atau mungkin NU tidak menggunakan metode hisab? Padahal disebutkan dalam buku ini bahwa Muhammadiyah menggunakan metode hisab dan Muhammadiyah itu NU sedangkan kitab yang dipakai NU adalah kitab Fiqih Muhammadiyah tahun 1924. Seharusnya NU juga menggunakan metode hisab ini. Yang menjadi pertanyaan penulis adalah jika yang ditulis pengarang buku ini mengandung kebenaran maka seharusnya NU menggunakan metode hisab, atau mungkin NU meninggalkan metode ini?
2.    Di hal 24 disebutkan bahwa Muhammadiyah menggunakan dalil-dalil melimpah (khusus buku Tanya jawab agama). Pengarangnya menyatakan:
“buku ini adalah buku sejarah yang sederhana, dalam hal sejarah fiqih, dan karenanya tidak perlu memasang dalil melimpah, ataupun rujukan asing, baik berbahasa Arab maupun Inggris………”

Penulis katakan bahwa wajar jika buku tanya jawab agama ini banyak memberikan dalil supaya hukumnya jelas, bukankah dalam berfatwa harus berlandaskan ilmu?, dan rujukan yang harus dipegang kuat adalah Al Qur’an dan As Sunnah sedangkan pendapat para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in.
3.    Allahu A’lam Muhammadiyah pada awalnya benar menggunakan mazhab Imam Syafi’i atau tidak namun yang perlu peulis garis bawahi memang benar bahwa Muhammdiyah tidak bermazhab namun Muhammadiyah bisa saja mengambil pendapat dari pada imam mazhab selama dalil yang dikemukakan kuat dan lebih kuat dari dalil lainnya. Imam Syafi’i sendiri pun beserta para imam mazhab lainnya seperti Imam Hanafi, Malik, dan Hanbal sebenarnya pernah mengatakan yang intinya jangan mengambil pendapat mereka yang bertentangan dengan mereka. Imam Syafi’i menyatakan mazhabku adalah apa yang sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah.  
4.    Ada halaman yang menyebutkan kemungkinan/mungkin seperti di halaman 59. Di sana tertulis kemungkinan. Dari kata tersebut menyatakan keragu-raguan pengarang terhadap apa yang ia tulis.
5.    Penggunaan kata Wahabi hanya digunakan oleh orang-orang yang tidak senang dengan dakwahnya syaikh Muhammad Abdul Wahab. Dalam bukunya pengarang juga menggunakan kata tersebut yang berarti menurut penulis, pengarang juga tidak sejalan dengan pemikirannya Syaikh Muhammad Abdul Wahab. Yang mana ini nanti sebelumnya erat kaitannya dengan pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam perihal bahasan tentang pembaharuan atau tajdid.
6.    Sepertinya pengarangnya juga menganggap KH. Ahmad Dahlan lebih mengutamakan para sahabatnya, muridnya serta orang-orang yang nantinya meneruskan perjuangan beliau dan juga pengarang buku ini merendahkan penerus beliau seperti KH. Mas Mansur (silahkan lihat halaman 60).
7.    Di halaman 64 disebutkan seolah-olah antara Muhammadiyah dan NU berselisih hanya karena label pembaharu dan tradisional. Padahal sejauh pengetahuan penulis tidak sama sekali dan apa yang dinyatakan oleh pangarang buku ini jauh sekali dari kenyataan yang sebenarnya, justru para ulama Muhammadiyah dulunya dan sampai sekarang Insyaallah selalu menjaga silaturahim dengan NU.

Perlu penulis tegaskan lagi bahwa sebenarnya bagi penulis, perbedaan pendapat dalam masalah fiqih tidak menjadi masalah selama masing-masing mempunyai dalil yang kuat dan tetap berpegang kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Sepertinya pengarang buku ini memang tidak faham tentang apa Muhammadiyah itu ya karena memang mungkin ga mau faham dan memang sengaja untuk memprovokasi baik dari kalangan Muhammadiyah maupun NU khususnya serta ormas-ormas lainnya.  Padahal yang dibahas dalam buku ini adalah permasalahan fiqhiyah saja antara Muhammadiyah dan NU. Sampai-sampai demi hawa nafsunya pengarang buku ini berusaha untuk menebarkan kebencian dikalangan umat Islam dengan hanya membahas masalah fiqih. Masyaallah padahal pada halaman-halaman awal buku ini pengarang menyebutkan bahwa masalah perbedaan dalam fiqih sebenarnya sudah ada sejak dahulu dan ini sudah biasa dan hal ini tidak masalah . Tapi mengapa ketika terjadi perbedaan pendapat antara fiqih Muhammadiyah 1924 yang sekarang menjadi Majelis Tarjih dengan fiqihnya NU, maka justru pengarang malah mempermasalahkannya? Aneh bukan? Kecuali terjadi perbedaan aqidah atau Muhammadiyah sudah menyimpang dari aqidah yang benar misalkan memperbolehkan bertawasul kepada patung, dan inilah yang seharusnya yang menjadi masalah. Tidak ada yang mempermasalahkan masalah fiqh kecuali orang yang hanya ingin membuat perpecahan atau ia tidak faham tentang ukhuwah Islamiyah itu sendiri. Allahu A’lam



[1] Alumni Pondok Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta 2012 (S1) dan mahasiswa alumni Pondok Pesantren Mahasiswa dan Sarjana Ulil AlBaab (PPMS) fakultas pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor 2014.
[2] Bantahan ini penulus buat hanyalah untuk meluruskan apa yang belum difahami oleh pengarangnya dan juga masyarakat ada umumnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar