Banjarmasinpost.co.id - Rabu, 14 Juli 2010
BANJARMASINPOST.CO.ID, KALSEL - Agama atau kepercayaan Kaharingan yang dianut masyarakat adat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan kini terancam punah, ujar Koordinator Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, Juliade.
"Hal itu bisa terjadi bila masyarakat adat Dayak Meratus tidak lagi melaksanakan upacara-upacara adat mereka dan saat ini gejala itu sudah nampak," ujarnya saat ditemui di Barabai, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) sekitar 165 Km Utara Banjarmasin, Rabu.
Kepercayaan itu khususnya pada masyarakat adat Dayak Meratus tidak tertuang dalam sebuah kitab suci sebagaimana agama lain yang berkembang di Indonesia.
Pada masyarakat adat Dayak Meratus agama tersebut berkembang dengan menggunakan budaya bertutur oleh tetuha adat atau mereka yang memiliki kemampuan khusus untuk itu.
Menurut dia, saat ini jumlah tetuha adat yang menguasai dan mampu menuturkan ajaran agama kepercayaan Kaharingan jumlahnya makin sedikit dan hanya dapat ditemui saat pelaksanaan upacara adat.
"Agama kepercayaan Kaharingan pada masyarakat adat Dayak Meratus dituturkan secara khusus oleh mereka yang terpilih sehingga tidak semua orang bisa dan mampu mempelajarinya," katanya.
Selain itu, pada masyarakat adat Dayak Meratus memang tidak ada guru khusus yang bertugas memberikan pelajaran tentang hal tersebut sedang pihak pemerintah juga tidak mengupayakannya.
Berbeda dengan yang terjadi di Kalimantan Tengah (Kalteng) saat ini di Kota Palangkaraya, ibu kota Kalteng telah berdiri sekolah khusus tentang agama Kaharingan.
Hal tersebut diperparah oleh kondisi generasi muda Dayak Meratus yang kini sudah banyak yang enggan mempelajari cara bertutur menurut kepercayaan mereka itu.
Ia menambahkan, agama kepercayaan Kaharingan bagi masyarakat Adat Dayak Meratus erat kaitannya dengan aktivitas keseharian mereka seperti merambah hutan, berhuma, berburu dan pelaksanaan upacara adat.
"Namun saat ini sejalan dengan kemajuan ilmu dan teknologi kegiatan upacara keagamaan dan budaya masyarakat Adat Dayak Meratus telah mengalami pergeseran dan mulai kehilangan makna," tambahnya.
Ilmu dan teknologi yang merambah hingga ke pedalaman Pegunungan Meratus tempat komunitas Dayak Meratus tinggal membuat generasi muda mereka mulai beranggapan bahwa pelaksanaan upacara adat merupakan sesuatu yang primitif.
Pelaksanaan upacara adat seperti Aruh Ganal misalnya kini lebih banyak dilakukan hanya sekedar pemenuhan kewajiban dan kadang untuk tujuan komersial dalam rangka menarik minat wisatawan.
Padahal tanpa disadari hal tersebut membuat pelaksanaan agama kepercayaan Kaharingan mulai tertinggalkan.
Hal itu pulalah yang menyebabkan jumlah orang Dayak Meratus yang menguasai tutur agama Kaharingan semakin hari semakin sedikit.
Sementara itu, generasi muda Dayak Meratus yang berpendidikan perhatiannya kebanyakan terkonsentrasi pada masalah pengakuan dan perjuangan akan hak-hak masyarakat adat saja.
Mereka yang kini berdomisili di kawasan perkotaan juga tidak lagi melaksanakan upacara adat sehingga secara otomatis pengamalan agama kepercayaan Kaharingan tidak lagi dijalankan bahkan terlupakan.
Sumber : http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/2010/7/14/50238/kaharingan-dayak-meratus-terancam-punah
rabu jam 00:08
Entri Populer
-
Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakaatuh Innal hamda lillah nahmaduhu wa nasta’iinuhu wa nastaghfiruhu wa na’udzubillahi min syuruuri ...
-
Assalamu'alaikum semuanya, dikatakan bahwa ; “Asshihhatu taaju ‘ala ru uushil ashaa i, laa yarauhaa illall mardhaa” itulah pepatah arab ...
-
(Sebuah resensi singkat terhadap karya Dr. Ulil Amri Syafri, M.A) Oleh: Nasrullah, S. Pd.I Pendidikan di Indonesia dewasa ini s...
-
SI TULAMAK dasar kada kawa mandangar ada makanan pina hanyar,langsung inya handak marasani. Tapi karna kada tapi panduitan makanya inya cuma...
-
Oleh: Nasrullah, M.Pd.I [1] Ketika penulis sedang berjalan di sebuah toko buku yang cukup terkenal (gramedia) di kota Bogor. Tiba-tiba p...
-
Oleh: Nasrullah Indonesia didirikan oleh para pendahulunya dengan perjuangan yang nyata. Memukul mundur kaum penjajah atas keterti...
-
Rumah Banjar Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, memp...
-
Oleh: Nasrullah, S.Pd.I Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, Jurusan Pemikiran dan Pendidikan Islam Tulisan ini...
-
Menanggapi terhadap tulisan yang telah disampaikan oleh bapak Hatta Rajasa dengan judul “Kembali ke Fitrah, Kembali ke Optimisme”. Berdasark...
-
Hari senin sore (16 April 2007), isteri saya yang baru pulang dari co-ass dari RSSA memberitahukan kepada saya, bahwa teman-teman akhowat is...
Kamis, 28 Oktober 2010
Senin, 18 Oktober 2010
Kepercayaan Kaharingan Dayak Meratus Terancam Punah
Barabai, Kalsel - Kepercayaan Kaharingan yang dianut masyarakat adat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan terancam punah, ujar Koordinator Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, Juliade.
"Hal itu bisa terjadi bila masyarakat adat Dayak Meratus tidak lagi melaksanakan upacara-upacara adat mereka dan saat ini gejala itu sudah nampak," ujarnya di Barabai, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) sekitar 165 Km Utara Banjarmasin, Rabu.
Kepercayaan itu tidak tertuang dalam sebuah kitab suci sebagaimana agama lain yang berkembang di Indonesia, melainkan berkembang lewat budaya bertutur oleh tetua adat atau mereka yang memiliki kemampuan khusus.
Menurut dia, saat ini jumlah tetua adat yang menguasai dan mampu menuturkan ajaran agama kepercayaan Kaharingan makin sedikit dan hanya dapat ditemui saat upacara adat.
"Agama kepercayaan Kaharingan pada masyarakat adat Dayak Meratus dituturkan secara khusus oleh mereka yang terpilih sehingga tidak semua orang bisa dan mampu mempelajarinya," katanya.
Selain itu, pada masyarakat adat Dayak Meratus memang tidak ada guru khusus yang bertugas memberikan pelajaran tentang agama, sementara pemerintah sendiri tidak mengupayakannya.
Hal tersebut diperparah kondisi generasi muda Dayak Meratus yang enggan mempelajari cara bertutur menurut kepercayaan mereka itu.
Ia menambahkan, agama kepercayaan Kaharingan bagi masyarakat Adat Dayak Meratus erat kaitannya dengan aktivitas keseharian mereka seperti merambah hutan, berhuma, berburu dan pelaksanaan upacara adat.
"Namun saat ini sejalan dengan kemajuan ilmu dan teknologi kegiatan upacara keagamaan dan budaya masyarakat Adat Dayak Meratus telah mengalami pergeseran dan mulai kehilangan makna," tambahnya.
Ilmu dan teknologi yang merambah hingga ke pedalaman Pegunungan Meratus tempat tinggal komunitas Dayak Meratus membuat generasi muda mereka mulai beranggapan bahwa adat mereka primitif.
Pelaksanaan upacara adat seperti Aruh Ganal misalnya kini lebih banyak dilakukan hanya untuk pemenuhan kewajiban dan kadang untuk tujuan komersial dalam menarik wisatawan.
Generasi muda Dayak Meratus yang berpendidikan perhatiannya terkonsentrasi pada masalah pengakuan dan perjuangan akan hak-hak masyarakat. (*) ANT/A019/AR09
Sumber : http://wa-iki.blogspot.com/2010/07/kepercayaan-kaharingan-dayak-meratus.html
"Hal itu bisa terjadi bila masyarakat adat Dayak Meratus tidak lagi melaksanakan upacara-upacara adat mereka dan saat ini gejala itu sudah nampak," ujarnya di Barabai, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) sekitar 165 Km Utara Banjarmasin, Rabu.
Kepercayaan itu tidak tertuang dalam sebuah kitab suci sebagaimana agama lain yang berkembang di Indonesia, melainkan berkembang lewat budaya bertutur oleh tetua adat atau mereka yang memiliki kemampuan khusus.
Menurut dia, saat ini jumlah tetua adat yang menguasai dan mampu menuturkan ajaran agama kepercayaan Kaharingan makin sedikit dan hanya dapat ditemui saat upacara adat.
"Agama kepercayaan Kaharingan pada masyarakat adat Dayak Meratus dituturkan secara khusus oleh mereka yang terpilih sehingga tidak semua orang bisa dan mampu mempelajarinya," katanya.
Selain itu, pada masyarakat adat Dayak Meratus memang tidak ada guru khusus yang bertugas memberikan pelajaran tentang agama, sementara pemerintah sendiri tidak mengupayakannya.
Hal tersebut diperparah kondisi generasi muda Dayak Meratus yang enggan mempelajari cara bertutur menurut kepercayaan mereka itu.
Ia menambahkan, agama kepercayaan Kaharingan bagi masyarakat Adat Dayak Meratus erat kaitannya dengan aktivitas keseharian mereka seperti merambah hutan, berhuma, berburu dan pelaksanaan upacara adat.
"Namun saat ini sejalan dengan kemajuan ilmu dan teknologi kegiatan upacara keagamaan dan budaya masyarakat Adat Dayak Meratus telah mengalami pergeseran dan mulai kehilangan makna," tambahnya.
Ilmu dan teknologi yang merambah hingga ke pedalaman Pegunungan Meratus tempat tinggal komunitas Dayak Meratus membuat generasi muda mereka mulai beranggapan bahwa adat mereka primitif.
Pelaksanaan upacara adat seperti Aruh Ganal misalnya kini lebih banyak dilakukan hanya untuk pemenuhan kewajiban dan kadang untuk tujuan komersial dalam menarik wisatawan.
Generasi muda Dayak Meratus yang berpendidikan perhatiannya terkonsentrasi pada masalah pengakuan dan perjuangan akan hak-hak masyarakat. (*) ANT/A019/AR09
Sumber : http://wa-iki.blogspot.com/2010/07/kepercayaan-kaharingan-dayak-meratus.html
Jumat, 01 Oktober 2010
Rumah Banjar
Rumah Banjar
Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris.
Menurut Idwar Saleh (1984:5) Rumah tradisonal Banjar adalah type-type rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Umumnya rumah tradisional Banjar dibangun dengan ber-anjung (ba-anjung) yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut Rumah Baanjung. Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula beberapa type Rumah Banjar yang tidak ber-anjung. Tipe rumah yang paling bernilai tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang biasanya dipakai untuk bangunan keraton (Dalam Sultan). Jadi nilainya sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai keraton. Keagungan seorang penguasa pada masa pemerintahan kerajaan diukur oleh kuantitas ukuran dan kualitas seni serta kemegahan bangunan-bangunan kerajaan khususnya istana raja (Rumah Bubungan Tinggi). Dalam suatu perkampungan suku Banjar terdiri dari bermacam-macam jenis rumah Banjar yang mencerminkan status sosial maupun status ekonomi sang pemilik rumah. Dalam kampung tersebut rumah dibangun dengan pola linier mengikuti arah aliran sungai maupun jalan raya terdiri dari rumah yang dibangun mengapung di atas air, rumah yang didirikan di atas sungai maupun rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah (alluvial) maupun lahan kering.
rumah banjar Arsitektur regionalisme bergaya rumah adat Bubungan Tinggi
.
Rumah Balai Laki (maket kiri) dan Rumah Balai Laki dengan atap jurai (maket kanan)
Sejarah dan Perkembangan Rumah Adat Banjar
Rumah adat Banjar, biasa disebut juga dengan Rumah Bubungan Tinggi karena bentuk pada bagian atapnya yang begitu lancip dengan sudut 45º.
Bangunan Rumah Adat Banjar diperkirakan telah ada sejak abad ke-16, yaitu ketika daerah Banjar di bawah kekuasaan Pangeran Samudera yang kemudian memeluk agama Islam, dan mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu Habang.
Sebelum memeluk agama Islam Sultan Suriansyah tersebut menganut agama Hindu. Ia memimpin Kerajaan Banjar pada tahun 1596 – 1620.
Pada mulanya bangunan rumah adat Banjar ini mempunyai konstruksi berbentuk segi empat yang memanjang ke depan.
Namun perkembangannya kemudian bentuk segi empat panjang tersebut mendapat tambahan di samping kiri dan kanan bangunan dan agak ke belakang ditambah dengan sebuah ruangan yang berukuran sama panjang. Penambahan ini dalam bahasa Banjar disebut disumbi.
Bangunan tambahan di samping kiri dan kanan ini tamapak menempel (dalam bahasa Banjar: Pisang Sasikat) dan menganjung keluar.
Bangunan tambahan di kiri dan kanan tersebut disebut juga anjung; sehingga kemudian bangunan rumah adat Banjar lebih populer dengan nama Rumah Ba-anjung.
Sekitar tahun 1850 bangunan-bangunan perumahan di lingkungan keraton Banjar, terutama di lingkungan keraton Martapura dilengkapi dengan berbagai bentuk bangunan lain.
Namun Rumah Ba-anjung adalah bangunan induk yang utama karena rumah tersebut merupakan istana tempat tinggal Sultan.
Bangunan-bangunan lain yang menyertai bangunan rumah ba-anjung tersebut ialah yang disebut dengan Palimasan sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan kesultanan berupa emas dan perak.
Balai Laki adalah tempat tinggal para menteri kesultanan, Balai Bini tempat tinggal para inang pengasuh, Gajah Manyusu tempat tinggal keluarga terdekat kesultanan yaitu para Gusti-Gusti dan Anang.
Selain bangunan-bangunan tersebut masih dijumpai lagi bangunan-bangunan yang disebut dengan Gajah Baliku, Palembangan, dan Balai Seba.
Pada perkembangan selanjutnya, semakin banyak bangunan-bangunan perumahan yang didirikan baik di sekitar kesultanan maupun di daerah-daerah lainnya yang meniru bentuk bangunan rumah ba-anjung.
Sehingga pada akhirnya bentuk rumah ba-anjung bukan lagi hanya merupakan bentuk bangunan yang merupakan ciri khas kesultanan (keraton), tetapi telah menjadi ciri khas bangunan rumah penduduk daerah Banjar.
Kondisi Rumah Adat Banjar
Akan tetapi sekarang dapat dikatakan bahwa rumah ba-anjung atau rumah Bubungan Tinggi yang merupakan arsitektur klasik Banjar itu tidak banyak dibuat lagi.
Sejak tahun 1930-an orang-orang Banjar hampir tidak pernah lagi membangun rumah tempat tinggal mereka dengan bentuk rumah ba-anjung.
Masalah biaya pembangunan rumah dan masalah areal tanah serta masalah mode nampaknya telah menjadi pertimbangan yang membuat para penduduk tidak mau membangun lagi rumah-rumah mereka dengan bentuk rumah ba-anjung.
Banyak rumah ba-anjung yang dibangun pada tahun-tahun sebelumnya sekarang dirombak dan diganti dengan bangunan-bangunan bercorak modern sesuai selera jaman.
Tidak jarang dijumpai di Kalimantan Selatan si pemilik rumah ba-anjung justru tinggal di rumah baru yang (didirikan kemudian) bentuknya sudah mengikuti mode sekarang.
Apabila sekarang ini di daerah Kalimantan Selatan ada rumah-rumah penduduk yang mempunyai gaya rumah adat ba-anjung, maka dapatlah dipastikan bangunan tersebut didirikan jauh sebelum tahun 1930.
Untuk daerah Kalimantan Selatan masih dapat dijumpai beberapa rumah adat Banjar yang sudah sangat tua umurnya seperti di Desa Sungai Jingah, Kampung Melayu Laut (Kota Banjarmasin), Desa Teluk Selong, Desa Dalam Pagar (Martapura), Desa Tibung, Desa Gambah (Kandangan), Desa Birayang (Barabai), dan di Negara.
Masing-masing rumah adat tersebut sudah dalam kondisi yang amat memprihatinkan, banyak bagian-bagian rumah tersebut yang sudah rusak sama sekali.
Pemerintah sudah mengusahakan subsidi buat perawatan bangunan-bangunan tersebut. Namun tidak jarang anggota keluarga pemilik rumah menolak subsidi tersebut karena alasan-alasan tertentu , seperti malu atau gengsi. Karena merasa dianggap tidak mampu merawat rumahnya sendiri.
Bagaimanapun keadaan rumah-rumah tersebut, dari sisa-sisa yang masih bisa dijumpai dapat dibayangkan bagaimana artistiknya bangunan tersebut yang penuh dengan berbagai ornamen menarik.
Rumah Banjar yang lapuk dimakan zaman
Bagian dan Konstruksi Rumah Tradisonal Banjar
Pondasi, Tiang dan Tongkat
Keadaan alam yang berawa-rawa di tepi sungai sebagai tempat awal tumbuhnya rumah tradisional Banjar, menghendaki bangunan dengan lantai yang tinggi. Pondasi, tiang dan tongkat dalam hal ini sangat berperan. Pondasi sebagai konstruksi paling dasar, biasanya menggunakan kayu Kapur Naga atau kayu Galam. Tiang dan tongkat menggunakan kayu ulin, dengan jumlah mencapai 60 batang untuk tiang dan 120 batang untuk tongkat.
Kerangka
Kerangka rumah ini biasanya menggunakan ukuran tradisional depa atau tapak kaki dengan ukuran ganjil yang dipercayai punya nilai magis / sakral. Bagian-bagian rangka tersebut adalah :
- Susuk dibuat dari kayu Ulin.
- Gelagar dibuat dari kayu Ulin, Belangiran, Damar Putih.
- Lantai dari papan Ulin setebal 3 cm.
- Watun Barasuk dari balokan Ulin.
- Turus Tawing dari kayu Damar.
- Rangka pintu dan jendela dari papan dan balokan Ulin.
- Balabad dari balokan kayu Damar Putih. Mbr>
- Titian Tikus dari balokan kayu Damar Putih.
- Bujuran Sampiran dan Gorden dari balokan Ulin atau Damar Putih.
- Tiang Orong Orong dan Sangga Ributnya serta Tulang Bubungan dari balokan kayu Ulin, kayu Lanan, dan Damar Putih.
- Kasau dari balokan Ulin atau Damar Putih.
- Riing dari bilah-bilah kayu Damar putih.
Lantai
Di samping lantai biasa, terdapat pula lantai yang disebut dengan Lantai Jarang atau Lantai Ranggang. Lantai Ranggang ini biasanya terdapat di Surambi Muka, Anjung Jurai dan Ruang Padu, yang merupakan tempat pembasuhan atau pambanyuan. Sedangkan yang di Anjung Jurai untuk tempat melahirkan dan memandikan jenazah. Biasanya bahan yang digunakan untuk lantai adalah papan ulin selebar 20 cm, dan untuk Lantai Ranggang dari papan Ulin selebar 10 cm.
Dinding
Dindingnya terdiri dari papan yang dipasang dengan posisi berdiri, sehingga di samping tiang juga diperlukan Turus Tawing dan Balabad untuk menempelkannya. Bahannya dari papan Ulin sebagai dinding muka. Pada bagian samping dan belakang serta dinding Tawing Halat menggunakan kayu Ulin atau Lanan. Pada bagian Anjung Kiwa, Anjung Kanan, Anjung Jurai dan Ruang Padu, terkadang dindingnya menggunakan Palupuh.
Atap
Atap bangunan biasanya menjadi ciri yang paling menonjol dari suatu bangunan. Karena itu bangunan ini disebut Rumah Bubungan Tinggi. Bahan atapnya terbuat dari sirap dengan bahan kayu Ulin atau atap rumbia.
Ornamentasi (Ukiran)
Penampilan rumah tradisional Bubungan Tinggi juga ditunjang oleh bentuk-bentuk ornamen berupa ukiran. Penempatan ukiran tersebut biasanya terdapat pada bagian yang konstruktif seperti tiang, tataban, pilis, dan tangga. Sebagaimana pada kesenian yang berkembang dibawah pengaruh Islam, motif yang digambarkan adalah motif floral (daun dan bunga). Motif-motif binatang seperti pada ujung pilis yang menggambarkan burung enggang dan naga juga distilir dengan motif floral. Di samping itu juga terdapat ukiran bentuk kaligrafi. (Museum Lambung Mangkurat - Banjarbaru, "Rumah Tradisional Bubungan Tinggi dan Kelengkapannya", 1992/1993)
Pengaruh Sistem Religi dan Sistem Pengetahuan
Meskipun orang Banjar sudah memeluk Islam, namun dalam kegiatan sehari-hari yang sehubungan dengan kebudayaan masih melekat unsur aninisme, Hindu-Buddha yang berkembang sebagai dasar adat pada masa lalu. Akan tetapi hal itu tidak secara keseluruhan. Religi yang dianggap asal adalah dari Kaharingan yang dikembangkan oleh orang Dayak. Pengaruh Hindu, Buddha, Islam maupun Kristen tidak berarti kepercayaan nenek moyang dengan segala upacara religinya hilang begitu saja. Orang-orang Dayak yang telah memeluk Islam dianggap sebagai Suku Bangsa Banjar dan tidak lagi menganggap dirinya sebagai suku Dayak. Suku Banjar hampir semua sendi keagamaanya didasarkan pada sentimen keagamaan yang bersumber pada ajaran Islam. Jadi setiap setiap rumah tangga memiliki peralatan yang berhubungan dengan pelaksanaan keagamaan. Demikian pula pada rumah tradisional Banjar banyak dilengkapi dengan ukiran yang berkaitan dengan persaudaraan, persatuan, kesuburan, maupun khat-khat kaligrafi Arab yang bersumber dari ajaran Islam seperti dua kalimat syahadat, nama-nama Khalifah, Shalawat, atau ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur'an.
Namun ukiran-ukiran di rumah Banjar juga masih ada yang berhubungan dengan kepercayaan Kaharingan, Aninisme, Dinanisme, maupun Hindu-Buddha, misalnya swastika, enggang, naga dan sebagainya.
Cara Menentukan Ukuran Rumah Adat Banjar
Cara Menentukan Ukuran Rumah Adat Banjar dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain :
1. Panjang dan lebar rumah ditentukan ukuran depa suami dalam jumlah ganjil. (Depdikbud, Brotomoeljono, Rumah Tradisional Kalimantan Selatan, 1986 : 87)
2. Dihitung dengan mengambil gelagar pilihan, kemudian dihitungkan dengan perhitungan gelagar, geligir, gelugur. Bila hitungannya berakhir dengan geligir atau gelugur maka itu pertanda tidak baik sehingga harus ditutup dengan gelagar. Hitungan gelagar akan menyebabkan rumah dan penghuninya mendapatkan kedamaian dan keharmonisan. (Depdikbud, Brotomoeljono, Rumah Tradisional Kalimantan Selatan, 1986 : 87)
3. Cara lain menurut Alfani Daud, MA. (1997 : 462); Ukuran panjang dan lebar rumah dilambangkan delapan ukuran lambang binatang yaitu naga, asap, singa, anjing, sapi, keledai, gajah, gagak. Panjang ideal dilambangkan naga dan lebarnya dilambangkan gajah.Yang tidak baik ialah lambang binatang asap, anjing, keledai, atau gagak. (Jumlah) panjang depa seseorang yang membangun rumah dibagi delapan mewakili binatang berturut-turut seperti tersebut terdahulu. (Tiap depa dikalikan 12). Bila panjang rumah 6 depa, berarti 6 x 12 ukuran atau 72 ukuran, maka jika ukurannya dilambangkan oleh binatang naga, haruslah ditambah 1/12 depa lagi. Untuk memperoleh ukuran lambang gajah, panjang itu harus ditambah 7/12 depa atau dikurangi 1/12 depa. (Alfani Daud, MA, Islam dan Masyarakat Banjar, 1997 : 462).
Filosofi Rumah Adat Banjar
Pemisahan jenis dan bentuk rumah Banjar sesuai dengan filsafat dan religi yang bersumber pada kepercayaan Kaharingan pada suku Dayak bahwa alam semesta yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah.Rumah Bubungan Tinggi merupakan lambang mikrokosmos dalam makrokosmos yang besar.Penghuni seakan-akan tinggal di bagian dunia tengah yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah. Di rumah mereka hidup dalam keluarga besar, sedang kesatuan dari dunia atas dan dunia bawah melambangkan Mahatala dan Jata (suami dan isteri).
rumah adat banjar Rumah Bubungan Tinggi melambangkan berpadunya Dunia Atas dan Dunia Bawah Dwitunggal Semesta
Pada peradaban agraris, rumah dianggap keramat karena dianggap sebagai tempat bersemayam secara ghaib oleh para dewata seperti pada rumah Balai suku Dayak Bukit yang berfungsi sebagai rumah ritual. Pada masa Kerajaan Negara Dipa sosok nenek moyang diwujudkan dalam bentuk patung pria dan wanita yang disembah dan ditempatkan dalam istana. Pemujaan arwah nenek moyang yang berwujud pemujaan Maharaja Suryanata dan Puteri Junjung Buih merupakan simbol perkawinan (persatuan) alam atas dan alam bawah Kosmogoni Kaharingan-Hindu. Suryanata sebagai manifestasi dewa Matahari (Surya) dari unsur kepercayaan Kaharingan-Hindu, matahari yang menjadi orientasi karena terbit dari ufuk timur (orient) selalu dinantikan kehadirannya sebagai sumber kehidupan, sedangkan Puteri Junjung Buih berupa lambang air, sekaligus lambang kesuburan tanah berfungsi sebagai Dewi Sri di Jawa. Pada masa tumbuhnya kerajaan Hindu, istana raja merupakan citra kekuasaan bahkan dianggap ungkapan berkat dewata sebagai pengejawantahan lambang Kosmos Makro ke dalam Kosmos Mikro. Puteri Junjung Buih sebagai perlambang "dunia Bawah" sedangkan Pangeran Suryanata perlambang "dunia atas". Pada arsitektur Rumah Bubungan Tinggi pengaruh unsur-unsur tersebut masih dapat ditemukan. Bentuk ukiran naga yang tersamar/didestilir (bananagaan) melambangkan "alam bawah" sedangkan ukiran burung enggang melambangkan "alam atas".
Jenis-Jenis Rumah Banjar
A. RUMAH BUBUNGAN TINGGI
Rumah Bubungan Tinggi adalah salah satu rumah tadisional suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan.
rumah bubungan tinggi Rumah Bubungan Tinggi
ciri-cirinya adalah :
1. Atap Sindang Langit tanpa plafon
2. Tangga Naik selalu ganjil
3. Pamedangan diberi Lapangan kelilingnya dengan Kandang Rasi berukir
Konstruksi Rumah Adat Banjar
Konstruksi rumah adat Banjar atau rumah ba-anjung dibuat dengan bahan kayu. Faktor alam Kalimantan yang penuh dengan hutan rimba telah memberikan bahan konstruksi yang melimpah kepada mereka, yaitu kayu.
Sesuai dengan bentuk serta konstruksi bangunan rumah adat Banjar tersebut maka hanya kayulah yang merupakan bahan yang tepat dan sesuai dengan konstruksi bangunannya.
Bagian Konstruksi Pokok
Konstruksi pokok dari rumah adat Banjar dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu :
1. Tubuh bangunan yang memanjang lurus ke depan, merupakan bangunan induk.
2. Bangunan yang menempel di kiri dan kanan disebut anjung.
3. Bubungan atap yang tinggi melancip disebut Bubungan Tinggi.
4. Bubungan atap yang memanjang ke depan disebut atap Sindang Langit
5. Bubungan atap yang memanjang ke belakang disebut atap Hambin Awan).
Tubuh bangunan induk yang memanjang terus ke depan dibagi atas ruangan-ruangan yang berjenjang lantainya.
Ruangan
Ruangan-ruangan yang berjenjang lantainya ialah :
1. Palatar (pendopo atau teras), ruangan depan yang merupakan ruangan rumah yang pertama setelah menaiki tangga masuk. Ukuran luas ruangan ini adalah 7 x 3 meter. Palatar disebut juga Pamedangan.
2. Panampik Kacil, yaitu ruangan yang agak kecil setelah masuk melalui Lawang Hadapan yaitu pintu depan. Permukaan lantainya lebih tinggi daripada lantai palatar. Ambang lantai disini disebut Watun Sambutan. Luas ruangan ini adalah 7 x 3 meter.
3. Panampik Tangah yaitu ruangan yang lebih luas dari panampik kacil. Lantainya juga lebih tinggi dari ruang sebelumnya. Ambang lantai ini disebut Watun Jajakan.
4. Panampik Basar atau Ambin Sayup, yaitu ruangan yang menghadapi dinding tengah (Banjar: Tawing Halat). Permukaan lantainya lebih tinggi pula dari lantai sebelumnya. Ambang Lantainya disebut WatunJajakan, sama dengan ambang lantai pada Panampik Tangah. Luas ruangan 7 x 5 meter.
5. Palidangan atau Ambin Dalam, yaitu ruang bagian dalam rumah yang berbatas dengan panampik basar. Lantai palidangan sama tinggi dengan lantai panampik basar (tapi ada juga beberapa rumah yang membuat lantai panampik basar lebih rendah dari lantai palidangan). Karena dasar kedua pintu yang ada di tawing halat tidak sampai ke dasar lantai maka watun di sini disebut Watun Langkahan. Luas ruang ini 7 x 7 meter. Di dalam ruangan Palidangan ini terdapat tiang-tiang besar yang menyangga bubungan tinggi (jumlahnya 8 batang). Tiang-tiang ini disebut Tihang Pitugur atau Tihang Guru.
6. Panampik Dalam atau Panampik Bawah, yaitu ruangan dalam yang cukup luas dengan permukaan lantai lebih rendah daripada lantai palidangan dan sama tingginya dengan permukaan lantai panampik tangah. Ambang lantai ini disebut pula dengan Watun Jajakan. Luas ruang 7 x 5 meter.
7. Padapuran atau Padu, yaitu ruangan terakhir bagian belakang bangunan. Permukaan lantainya lebih rendah pula dari panampik bawah. Ambang lantainya disebut Watun Juntaian. Kadang-kadang Watun Juntaian itu cukup tinggi sehingga sering di tempat itu diberi tangga untuk keperluan turun naik. Ruangan padapuran ini dibagi atas bagian atangan (tempat memasak) dan salaian (tempat mengeringkan kayu api), pajijiban dan pagaduran (tempat mencuci piring atau pakaian). Luas ruangan ini adalah 7 x 3 meter.
Ukuran
Tentang ukuran tinggi, lebar dan panjang setiap rumah adat Banjar pada umumnya relatif berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh karena ukuran pada waktu itu didasarkan atas ukuran depa atau jengkal.
Ukuran depa atau jengkal tersebut justru diambil dari tangan pemilik rumah sendiri; sehingga setiap rumah mempunyai ukuran yang berbeda.
Ada kepercayaan di sana yang mengatakan bahwa setiap ukuran haruslah dengan hitungan yang ganjil bilangan ganjil.
Penjumlahan ganjil tersebut tidak saja terlihat di dalam hal ukuran panjang dan lebar, tapi juga sampai dengan jumlah hiasan tangga, anak tangga, layang-layang puncak dan lain-lain.
Jikalau diukur, maka panjang bangunan induk rumah adat Banjar pada umumnya adalah 31 meter sedang lebar bangunan induk adalah 7 meter dan lebar anjung masing-masing 5 meter.
Lantai dari permukaan tanah sekitar 2 meter yaitu kolong di bawah anjung dan palidangan; sedangkan jarak lantai terendah rata-rata 1 meter, yaitu kolong lantai ruang palatar.
Tata Ruang dan Kelengkapan Rumah Tradisonal Banjar
Tata ruang rumah tradisional Bubungan Tinggi membedakan adanya tiga jenis ruang yaitu ruang terbuka, setengah terbuka dan ruang dalam.
Ruang terbuka terdiri dari pelataran atau serambi, yang dibagi lagi menjadi surambi muka dan surambi sambutan.
Ruang setengah terbuka diberi pagar rasi disebut Lapangan Pamedangan.
Sedangkan ruang dalam dibagi menjadi Pacira dan Panurunan (Panampik Kacil), Paluaran (Panampik Basar), Paledangan (Panampik Panangah) yang terdiri dari Palidangan Dalam, Anjung Kanan dan Anjung Kiwa, serta Panampik Padu (dapur).
Secara ringkas berikut ini akan diuraikan situasi ruang dan kelengkapannya;
- Surambi
Di depan surambi muka biasanya terdapat lumpangan tempat air untuk membasuh kaki. Pada surambi muka juga terdapat tempat air lainnya untuk pembasuhan pambilasan biasanya berupa guci.
- Pamedangan
Ruangan ini lantainya lebih tinggi, dikelilingi pagar rasi. Biasanya pada ruang ini terdapat sepasang kursi panjang.
- Pacira dan Panurunan (Panampik Kacil)
Setelah masuk Pacira akan didapatkan tanggui basar dan tanggui kacil di arah sebelah kiri, sedangkan arah sebelah kanan terdapat pengayuh, dayung, pananjak dan tombak duha. Di sayap kanan ruangan terdapat gayung, sandal dan terompah tergantung di Balabat Panurunan. Sebagai perlengkapan penerangan dalam ruangan ini terdapat dua buah lampu gantung.
- Paluaran (Panampik Basar)
Ruangan ini cukup besar digunakan untuk berbagai kegiatan keluarga dan kemasyarakatan apabila masih kekurangan ruang Tawing Halat yang memisahkan dengan Palidangan dapat dibuka. Di bagian tengah di depan Tawing Halat ini terletak bufet. Di atasnya agak menyamping ke kiri dan ke kanan terdapat gantungan tanduk rusa. Di tengah ruangan terdapat dua buah lampu gantung. Lantainya diberi lampit dan kelengkapan bergerak seperti paludahan, kapit dan gelas, parapen, rehal.
- Palidangan (Panampik Panangah)
Ruangan ini terdiri dari Paledangan Dalam dan Anjung Kiwa - Anjung Kanan. Fungsi ruang sama dengan Paluaran, namun biasanya diperuntukkan bagi kaum wanita. Di sini terdapat kelengkapan lemari besar, lemari buta, kanap, kendi. Lantainya diberi hambal sebagai alas duduk.
- Anjung Kanan - Anjung Kiwa
Ruang Anjung Kanan merupakan ruang istirahat yang dilengkapi pula dengan alat rias dan perlengkapan ibadah. Sedangkan Anjung Kiwa merupakan tempat melahirkan dan tempat merawat jenazah. Di sini juga di beri perlengkapan seperti lemari, ranjang, meja dan lain-lain.
- Padu (dapur)
Di samping untuk tempat perlengkapan masak dan kegiatannya, ruang padu ini juga digunakan untuk menyimpan bahan makanan. Perlengkapan umum yang terdapat di dalamnya adalah dapur, rak dapur, pambanyuan, lemari, tajau, lampit dan ayunan anak.
Bentuk arsitektur dan pembagian ruang rumah tradisional Bubungan Tinggi mempunyai kesamaan prinsip antara satu dengan lainnya, dengan perbedaan-perbedaan kecil yang tidak berarti.
Dari sini dapat dilihat bahwa rumah tradisional Bubungan Tinggi tersebut mempunyai keterikatan dengan nilai tradisional masyarakatnya.
Jadi meskipun pada awalnya bentuk tersebut dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan fungsi dan adaptasi terhadap lingkungan, tetapi karena sifatnya yang berulang-ulang kemudian dari bentuk fungsional tersebut berubah menjadi bentuk yang tradisional.
B. RUMAH GAJAH BALIKU
Gajah Baliku adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Gajah Baliku mirip dengan Rumah Bubungan Tinggi, tetapi pada Bubungan Tinggi ruangan di sisi luar Tawing Halat (dinding tengah) lantainya berjenjang sedangkan pada Gajah Baliku tidak berjenjang karena Bubungan Tinggi untuk bangunan keraton yang bersifat hierarkis.
Rumah Gajah Baliku
Gajah Baliku pada ruang tersebut tidak memakai atap sengkuap (Atap Sindang Langit) tetapi memakai kuda-kuda dengan atap perisai (Atap Gajah) dengan lantai ruangan datar saja sehingga menghasilkan bentuk bangun ruang yang dinamakan Ambin Sayup. Sedangkan pada kedua anjung memakai atap Pisang Sasikat (atap sengkuap).
Ciri-ciri rumah Gajah Baliku adalah :
1. Atap jurai, hidung bapicik bentuk muka (maksudnya atap perisai)
2. Ambin terbuka kiri/kanan anjung
3. Atap bubungan tinggi
4. Atap sindang langit tidak ada kecuali pada kedua anjung
5. Panampik Kacil tidak ada, yang ada hanya Panampik Basar
Ciri-ciri lainnya : Bagian-bagiannya sama dengan rumah Bubungan Tinggi. Yang berbeda adalah atap yaitu
1. Atap bubungan tingginya sama
2. Atap kedua anjung, atap sindang langit (maksudnya atap sengkuap)
3. Atap panampik Kacil diganti dengan atap jurai dengan muka hidung bapicik (maksudnya atap perisai)
4. Atap Panampik Padu beratap jurai.
Ruangan
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
1. Palatar Sambutan
2. Palatar Pamedangan
3. Ambin Sayup
4. Palidangan diapit oleh Anjung Kanan dan Anjung Kiwa
5. Padapuran (Padu)
C. RUMAH GAJAH MANYUSU
Gajah Manyusu adalah salah satu rumah tradisional suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Pada rumah induk memakai atap perisai buntung dengan tambahan atap sengkuap (Sindang Langit) pada emper depan, sedangkan anjungnya memakai atap sengkuap (Pisang Sasikat) atau dapat pula menggunakan atap perisai.
Rumah Gajah Manyusu
Ciri-cirinya :
Tubuh bangunan induk memakai atap perisai buntung (bahasa Banjar : atap gajah hidung bapicik) yang menutupi serambi yang disebut pamedangan.
Pada teras terdapat 4 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap Sindang Langit. Empat pilar penyangga emper depan (karbil) pada teras dapat diganti model konsol.
Pada Tawing Hadapan terdapat tangga naik yang disebut Tangga Hadapan dengan posisi lurus ke depan.
Terdapat Serambi yang disebut Pamedangan yang menggunakan pagar susur yang disebut Kandang Rasi. Serambi dapat dibuat berukuran kecil saja pada salah satu sudut.
Sayap bangunan (anjung) memakai atap sengkuap yang disebut atap Pisang Sasikat seperti pada rumah Bubungan Tinggi.
Pada tipe lainnya sayap bangunan yang disebut anjung menggunakan model Anjung Surung seperti pada rumah Cacak Burung.
Ruang
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
Ruang terbuka/teras rumah yang disebut Surambi Sambutan
Ruang setengah terbuka/serambi atas yang disebut Pamedangan
Ruang Tamu yang disebut Ambin Sayup
Ruang Dalam yang disebut Palidangan diapit oleh Anjung terdiri dari Anjung Kanan dan Anjung Kiwa
Pantry yang disebut Padapuran atau Padu
"Rumah ini mempunyai ciri pada bentuk atap limas dengan hidung bapicik (atap mansart) pada bagian depannya. Anjung mempunyai atap Pisang Sasikat, sedang surambinya beratap Sindang Langit"
D. RUMAH BALAI LAKI
Balai Laki adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Bentuk atap Balai Laki memakai atap pelana pada rumah induk, sedangkan pada Anjung memakai atap sengkuap yang disebut atap Pisang Sasikat seperti pada rumah Bubungan Tinggi.
Rumah Balai Laki
Ciri-cirinya :
1. Memakai tebar layar yang disebut Tawing Layar
2. Tubuh bangunan induk memakai atap pelana (bahasa Banjar : atap balai laki) yang menutupi serambi pamedangan.
3. Pada teras (Surambi Sambutan terdapat 4 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap Sindang Langit. Kadang-kadang pilar ini diganti dengan konsol.
4. Pada dinding sisi depan yang disebut Tawing Hadapan terdapat 1 pintu masuk yang disebut Lawang Hadapan.
5. Kadang-kadang pada dinding depan juga terdapat jendela depan (lalungkang hadapan) di sebelah kanan dan kiri pintu masuk.
6. Pintu dinding tengah (lawang tawing halat) berjumlah 2 buah.
7. Serambi yang disebut pamedangan menggunakan pagar susur yang disebut Kandang Rasi.
8. Sayap bangunan (anjung) memakai atap sengkuap/lessenaardak yang disebut atap Pisang Sasikat seperti pada rumah Bubungan Tinggi.
9. Kadang-kadang memakai bentuk lengkung (gerbang) pada serambi/Pamedangan).
10. Kadang-kadang terdapat 3 (tiga) buah pintu masuk (lawang hadapan)karena 2 (dua) buah jendela depan diganti menjadi pintu juga.
11. Kadang-kadang pada teras/Surambi Sambutan juga menggunakan pagar Kandang Rasi.
Ruang
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
1. Palatar Sambutan
2. Pamedangan
3. Ambin Sayup
4. Palidangan diapit oleh Anjung yaitu Anjung Kanan dan Anjung Kiwa
5. Padapuran/Padu
Balai Laki dalam bentuk umum sama dengan Palimbangan, tapi dengan ukuran lebih kecil. Atap jurai dengan dahi tajam (maksudnya atap pelana) dan diberi sungkul bertatah bisa memakai anjung di belakang sebelah kiri atau tidak.
E. RUMAH BALAI BINI
Balai Bini adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Tubuh bangunan induk memakai atap perisai (bahasa Banjar : atap gajah), sedangkan sayap bangunan (anjung) memakai atap sengkuap/lessenaardak ( Bahasa Banjar : atap pisang sasikat).
Rumah Balai Bini
Ciri-cirinya :
1. Atap merupakan atap jurai
2. Atap sindang langit di kedua anjung
3. Pamedangan disambung dengan atap pisang sasikat
4. Pamedangan ditutup dengan Kandang Rasi
5. Paluaran menggunakan tataban
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
1. Palatar Sambutan
2. Palatar Pamedangan
3. Ambin Sayup
4. Palidangan diapit oleh Anjung Kanan dan Anjung Kiwa
5. Padapuran (Padu)
Ciri-ciri lainnya :
1. Tubuh bangunan induk memakai atap perisai (bahasa Banjar : atap gajah) yang menutupi serambi pamedangan.
2. Pada Surambi Sambutan terdapat 4 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap sindang langit.
3. Pada dinding depan (Tawing Hadapan) terdapat 1 Lawang Hadapan (pintu masuk), di antara pintu masuk terdapat jendela sebelah kanan dan kiri.
4. Serambi pamedangan (teras) menggunakan pagar Kandang Rasi.
5. Sayap bangunan (anjung) memakai atap sengkuap/zaldedaak ( atap pisang sasikat) seperti pada rumah Bubungan Tinggi.
6. Kadang-kadang 4 (empat) buah pilar penyangga emper depan (karbil) diganti model konsol.
7. Bagian atas teras (serambi Pamedangan) kadang-kadang memakai bentuk lengkung (gerbang).
8. Kadang-kadang tedapat 3 (tiga) buah pintu masuk karena 2 (dua) buah jendela diganti menjadi pintu juga.
9. Kadang-kadang Surambi Sambutan (teras emper) juga menggunakan pagar Kandang Rasi.
F. RUMAH PALIMBANGAN
Palimbangan adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Bumbungan atap rumah Palimbangan pada rumah induk memakai atap pelana dengan tebar layar yang disebut Tawing Layar. Jika memakai anjung maka atapnya juga menggunakan atap pelana dengan Tawing Layar. Pada teras/emper depan ditutup dengan atap sengkuap (atap lessenaardak) yang disebut atap Sindang Langit. Atap Sindang Langit ini menerus ke emper samping sampai di depan Anjung membentuk atap pelana yang sangat lebar.
Rumah Palimbangan
Rumah Palimbangan diperuntukkan bagi golongan saudagar besar. Rumah Palimbangan berukuran lebih besar dari pada rumah Balai Laki yang juga beratap pelana.
Palimbangan dengan anjung memakai Tawing Layar
Rumah Palimbangan ini mempunyai perbedaan dengan tipe lainnya antara lain pada bentuk atap dan ornamen ukiran yang dipakai. Ruang paluarannya beratap pelana dengan hiasan layang-layang di puncak gunungannya. Atap sindang langit untuk surambi juga diteruskan ke samping sehingga membentuk jurai (jurai luar). Atap ini bertemu atap sindang langit pada anjungnya. (1)
Contoh rumah Palimbangan memakai anjung beratap pelana adalah rumah Palimbangan milik Hj. Siti Hawa yang dibangun oleh kakeknya H. Seta terdapat di Kelurahan Pasayangan, Martapura, Banjar.
Ciri-cirinya :
1. Anjung memakai atap pelana dengan Tawing Layar yang menyambung dengan atap emper samping dan emper depan (Sindang Langit)
2. Tubuh bangunan induk memakai atap pelana/(bahasa Banjar : atap balai laki) yang menutupi serambi pamedangan.
3. Bentuk bangunan lebih besar dari rumah Balai Laki.
4. Pada Surambi Sambutan terdapat 6 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap sindang langit yang diteruskan ke emper samping kanan dan kiri dengan beberapa buah pilar tambahan.
5. Pada dinding sisi depan yang disebut Tawing Hadapan terdapat 1 pintu masuk yang disebut Lawang Hadapan.
6. Serambi pamedangan (teras) menggunakan pagar Kandang Rasi.
7. Tangga masuk lurus dari arah depan atau menyamping dari kiri kanan dengan jumlah trap ganjil.
8. Atap anjung diteruskan ke arah depan menyambung atap sindang langit (karbil).
9. Lawang (pintu) Tawing Halat (dinding tengah) berjumlah 2 buah.
1. Kadang-kadang ruang anjung diganti dengan "Ambin Sayup" yang beratap pelana dengan pintu masuk samping menjadi semacam pavilyun.
11. Ada kemiripan dengan rumah Jawa tipe "Kampung Dara Gepak"/rumah "Kampung Lawakan".
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
1. Teras yang disebut Palatar Sambutan
2. Serambi yang disebut Pamedangan
3. Ruang Tamu yang disebut Ambin Sayup/Paluaran
4. Ruang Dalam yang disebut Ambin Dalam/Palidangan dengan dua anjung kiri dan kanan.
5. Ruang Pantry yang disebut Padapuran/Padu
Palimbangan Tanpa Anjung
Ciri-cirinya :
1. Memakai tebar layar yang dinamakan Tawing Layar.
2. Tubuh bangunan induk memakai atap pelana yang biasa disebut atap balai laki.
3. Bentuk bangunan lebih besar dari rumah Balai Laki.
Pada teras (Palatar Sambutan) terdapat 4 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap Sindang Langit.
Pada dinding depan yang disebut Tawing Hadapan terdapat 1(satu), 2(dua) atau 3 (tiga) buah pintu masuk yang disebut Lawang Hadapan.
Serambi yang disebut pamedangan menggunakan pagar susur yang disebut Kandang Rasi.
Tangga masuk lurus dari arah depan dengan jumlah trap ganjil.
Tidak ada sayap bangunan (anjung).
Pintu dinding tengah (Lawang Tawing Halat) berjumlah 2 buah.
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
1. Teras yang disebut Palatar Sambutan
2. Serambi yang disebut Pamedangan
3. Ruang Tamu yang disebut Ambin Sayup/Paluaran
4. Ruang Dalam yang disebut Ambin Dalam/Palidangan
5. Ruang Pantry yang disebut Padapuran/Padu
G. RUMAH PALIMASAN
Palimasan adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Bentuk atap pada rumah Palimasan memakai atap perisai. Jika memakai anjung, atapnya juga berupa atap perisai.
Rumah Palimasan
Rumah Palimasan dengan Anjung
Rumah Palimasan merupakan suatu bangunan yang mukanya menyerupai tipe Gajah Baliku, beratap jurai dengan muka hidung bapicik (maksudnya atap pelana), bagian paluaran dan pamedangan diperluas dengan tangga sisi kiri-kanan, tidak berbubungan tinggi, anjung (Pisang Sasikat) diganti dengan Ambin Sayup.
Pada kurun waktu kemudian bentuk rumah Bubungan Tinggi ini berubah bentuk penyederhanaan yang kemudian disebut dengan nama Palimasan. Denah bangunan tetap sama dengan Bubungan Tinggi tetapi lantai berjenjang menjadi sama seluruhnya dengan konstruksi bubungan berubah menjadi atap (konstruksi kuda-kuda) pelana.
Ciri-cirinya :
1. Terdapat anjung dengan atap perisai yang disebut Ambin Sayup/Anjung Surung
2. Tubuh bangunan induk memakai atap perisai (bahasa Banjar : atap gajah) yang menutupi serambi pamedangan.
3. Terdapat 4 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap Sindang Langit pada surambi sambutan.
4. Pada dinding depan (Tawing Hadapan) terdapat 1 atau 2 atau 3 pintu depan (lawang hadapan),
5. Serambi pamedangan (teras) menggunakan pagar Kandang Rasi.
6. Pada umumnya tangga depan (Tangga Hadapan) kembar ke kanan dan kekiri.
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
1. Ruang terbuka/teras rumah yang disebut Surambi Sambutan
2. Ruang setengah terbuka yang disebut Pamedangan
3. Ruang Tamu yang disebut Ambin Sayup/Paluaran
4. Ruang Dalam yang disebut Palidangan dengan dua anjung kiri dan kanan.
5. Ruang Pantry yang disebut Padu
Palimasan Tanpa Anjung (Rumah Gajah)
Ciri-cirinya :
1. Tubuh bangunan induk memakai atap perisai (bahasa Banjar : atap gajah) yang menutupi serambi/pamedangan.
2. Pada teras terdapat 4 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap Sindang Langit pada surambi sambutan.
3. Pada dinding depan (Tawing Hadapan) terdapat 1 atau 2 atau 3 pintu depan (lawang hadapan),
4. Serambi yang dinamakan pamedangan menggunakan pagar susur yang dinamakan Kandang Rasi, kadang-kadang pada sisi atasnya berupa bentuk lengkung/gerbang.
5. Pada umumnya tangga depan (Tangga Hadapan) kembar ke kanan dan kekiri serta ada pula yang lurus.
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
1. Ruang terbuka/teras rumah yang disebut Surambi Sambutan
2. Ruang setengah terbuka yang disebut Pamedangan
3. Ruang Tamu yang disebut Ambin Sayup/Paluaran
4. Ruang Dalam yang disebut Palidangan
5. Ruang Pantry yang disebut Padapuran
H. RUMAH ANJUNG SURUNG
Anjung Surung adalah salah satu jenis rumah tradisional suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Tubuh bangunan induk memakai atap pelana (Tawing Layar) atau bentuk variasinya. Dinamakan Anjung Surung karena bentuk anjung/sayap bangunan dengan atap dalam posisi menyorong (bukan memakai atap Pisang Sasikat seperti pada Rumah Bubungan Tinggi).
Rumah Anjung Surung
Rumah Cacak Burung termasuk jenis Rumah Anjung Surung (dengan sedikit perbedaan pada bubungan atap di atas ruang Palidangan serta kedua anjung.
I. RUMAH TADAH ALAS
Tadah Alas adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Rumah Tadah Alas merupakan pengembangan dari Rumah Balai Bini yaitu dengan menambahkan satu lapis atap perisai pada kanopi paling depan. Atap kanopi inilah yang disebut "tadah alas" sehinggga rumah adat ini dinamakan rumah Tadah Alas.
Rumah Tadah Alas
Ciri-ciri bangunan :
1. Tubuh bangunan induk memakai atap perisai (bahasa Banjar : atap gajah) yang menutupi ruang Ambin Sayup.
2. Diberi tambahan satu lapis atap perisai (atap gajah) pada bagian paling depan yaitu atap yang menutupi kanopi paling depan dari bangunan yang menutupi serambi terbuka/Pamedangan yang berukuran kecil menjorok ke depan dengan ditopang 2 pilar.
3. Biasanya terdapat dua jendela variasi di depan ruang Paluaran/Ambin Sayup
4. Pada sayap bangunan (anjung) memakai atap sengkuap (lessenaardak) yang disebut atap Pisang Sasikat seperti pada rumah Bubungan Tinggi maupun Balai Bini.
5. Pada alternatif ke-2 sayap bangunan atau anjung memakai atap perisai seperti pada rumah Cacak Burung.
Ruang
1. Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
2. Pamedangan kecil
3. Ambin Sayup
4. Palidangan diapit 2 buah Anjung yaitu Anjung Kanan dan Anjung Kiwa
5. Padapuran (Padu)
Ciri-ciri Rumah Tadah Alas :
Atap jurai diberi satu lapis atau atap tumpang sama panjang dengan dibawahnya.
Bentuk bangunan merupakan sebuah Balai Bini.
J. RUMAH LANTING
Rumah Lanting adalah merupakan rumah tradisional tertua yang ada di Kalimantan Selatan , dan merupakan rumah rakit tradisional suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan dengan pondasi rakit mengapung terdiri dari susunan dari batang-batang pohon yang besar yang selalu oleng dimainkan gelombang dari kapal yang hilir mudik di sungai. Rumah Lanting banyak terdapat di sepanjang sungai-sungai di Kalimantan. Rumah Lanting juga terdapat di sepanjang sungai Musi di Palembang, Sumatera Selatan dengan sebutan Rumah Rakit.
Rumah Lanting
Ciri-ciri :
1. Bubungan memakai atap pelana
2. Landasan pelampung supaya mengapung dengan tiga batang besar pokok kayu, di atasnya dipasang gelagar ulin untuk dasar bangunan.
K. RUMAH JOGLO GUDANG
Rumah Joglo atau Rumah Joglo Gudang adalah satu rumah tradisional daerah Kalimantan Selatan (rumah Banjar) yang memiliki atap limas. Rumah Joglo disebut juga Rumah Bulat. Rumah seperti ini juga terdapat di kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Rumah Joglo Gudang
Rumah Bulat ini terdapat di Desa Penghulu, Marabahan, Barito Kuala. Bentuk bangunan rumah Joglo terdiri atas 3 susunan atap limas yang berderet ke belakang dengan satu tambahan atap limas yang lebih kecil pada paling belakang yang merupakan bangunan dapur (Padu). Rumah limas seperti ini kalau di Jawa disebut Rumah Limasan Endas Telu merupakan tiga atap limas yang berderet ke belakang.
Di Banjarmasin juga terdapat jenis rumah Joglo yang disebut Joglo Gudang yaitu satu buah atap limas dengan disambung atap Sindang Langit di depan dan atap Hambin Awan di belakang. Terdapat juga model Joglo Gudang yang besar dengan tambahan serambi Pamedangan hingga ke samping kiri dan samping kanan rumah.
Secara etimologi berasal dari kata Joglo dan gudang. Dinamakan Rumah Joglo karena menyerupai model rumah limasan suku Jawa yang disebut rumah Joglo, sedangkan istilah 'gudang' karena pada bagian kolong rumah (yang dalam bahasa Banjar disebut berumahan) dipergunakan sebagai gudang untuk menyimpan hasil hutan, karet yang merupakan komoditas perdagangan pada jaman dulu.
Di Banjarmasin, rumah jenis ini banyak ditempati orang Tionghoa-Banjar. Rumah Joglo Gudang merupakan salah khasanah kekayaan arsitektur daerah Kalimantan Selatan yang pernah berkembang pada masa lampau.
L. RUMAH BANGUN GUDANG
Bangun Gudang adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Atap pada dasarnya memakai atap perisai dengan serambi Pamedangan kecil di tengah-tengah. Pada bagian kiri dan bagian kanan dari "serambi pamedangan" diubah sebagai dinding depan kecuali bagian tengah yang tetap sebagai serambi pamedangan kecil yang diapit diantara kedua dinding depan tersebut. Memiliki tiga pintu masuk yaitu satu dari tengah, dari samping kiri dan dari samping kanan Pamedangan. Tidak terdapat 4 buah pilar yang biasanya ada pada teras rumah Banjar.
Rumah Bangun Gudang
Rumah Bangun Gudang
Ciri-cirinya :
1. Atap berbentuk atap gajah
2. Tangga masuk dari muka
3. Pamedangan kecil
4. Pintu masuk tiga buah (masing-masing dari tiga arah)
5. Pintu masuk tawing halat dua buah
Sumber : http://www.urangbanua.com/rumah-banjar.html
Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris.
Menurut Idwar Saleh (1984:5) Rumah tradisonal Banjar adalah type-type rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Umumnya rumah tradisional Banjar dibangun dengan ber-anjung (ba-anjung) yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut Rumah Baanjung. Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula beberapa type Rumah Banjar yang tidak ber-anjung. Tipe rumah yang paling bernilai tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang biasanya dipakai untuk bangunan keraton (Dalam Sultan). Jadi nilainya sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai keraton. Keagungan seorang penguasa pada masa pemerintahan kerajaan diukur oleh kuantitas ukuran dan kualitas seni serta kemegahan bangunan-bangunan kerajaan khususnya istana raja (Rumah Bubungan Tinggi). Dalam suatu perkampungan suku Banjar terdiri dari bermacam-macam jenis rumah Banjar yang mencerminkan status sosial maupun status ekonomi sang pemilik rumah. Dalam kampung tersebut rumah dibangun dengan pola linier mengikuti arah aliran sungai maupun jalan raya terdiri dari rumah yang dibangun mengapung di atas air, rumah yang didirikan di atas sungai maupun rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah (alluvial) maupun lahan kering.
rumah banjar Arsitektur regionalisme bergaya rumah adat Bubungan Tinggi
.
Rumah Balai Laki (maket kiri) dan Rumah Balai Laki dengan atap jurai (maket kanan)
Sejarah dan Perkembangan Rumah Adat Banjar
Rumah adat Banjar, biasa disebut juga dengan Rumah Bubungan Tinggi karena bentuk pada bagian atapnya yang begitu lancip dengan sudut 45º.
Bangunan Rumah Adat Banjar diperkirakan telah ada sejak abad ke-16, yaitu ketika daerah Banjar di bawah kekuasaan Pangeran Samudera yang kemudian memeluk agama Islam, dan mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu Habang.
Sebelum memeluk agama Islam Sultan Suriansyah tersebut menganut agama Hindu. Ia memimpin Kerajaan Banjar pada tahun 1596 – 1620.
Pada mulanya bangunan rumah adat Banjar ini mempunyai konstruksi berbentuk segi empat yang memanjang ke depan.
Namun perkembangannya kemudian bentuk segi empat panjang tersebut mendapat tambahan di samping kiri dan kanan bangunan dan agak ke belakang ditambah dengan sebuah ruangan yang berukuran sama panjang. Penambahan ini dalam bahasa Banjar disebut disumbi.
Bangunan tambahan di samping kiri dan kanan ini tamapak menempel (dalam bahasa Banjar: Pisang Sasikat) dan menganjung keluar.
Bangunan tambahan di kiri dan kanan tersebut disebut juga anjung; sehingga kemudian bangunan rumah adat Banjar lebih populer dengan nama Rumah Ba-anjung.
Sekitar tahun 1850 bangunan-bangunan perumahan di lingkungan keraton Banjar, terutama di lingkungan keraton Martapura dilengkapi dengan berbagai bentuk bangunan lain.
Namun Rumah Ba-anjung adalah bangunan induk yang utama karena rumah tersebut merupakan istana tempat tinggal Sultan.
Bangunan-bangunan lain yang menyertai bangunan rumah ba-anjung tersebut ialah yang disebut dengan Palimasan sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan kesultanan berupa emas dan perak.
Balai Laki adalah tempat tinggal para menteri kesultanan, Balai Bini tempat tinggal para inang pengasuh, Gajah Manyusu tempat tinggal keluarga terdekat kesultanan yaitu para Gusti-Gusti dan Anang.
Selain bangunan-bangunan tersebut masih dijumpai lagi bangunan-bangunan yang disebut dengan Gajah Baliku, Palembangan, dan Balai Seba.
Pada perkembangan selanjutnya, semakin banyak bangunan-bangunan perumahan yang didirikan baik di sekitar kesultanan maupun di daerah-daerah lainnya yang meniru bentuk bangunan rumah ba-anjung.
Sehingga pada akhirnya bentuk rumah ba-anjung bukan lagi hanya merupakan bentuk bangunan yang merupakan ciri khas kesultanan (keraton), tetapi telah menjadi ciri khas bangunan rumah penduduk daerah Banjar.
Kondisi Rumah Adat Banjar
Akan tetapi sekarang dapat dikatakan bahwa rumah ba-anjung atau rumah Bubungan Tinggi yang merupakan arsitektur klasik Banjar itu tidak banyak dibuat lagi.
Sejak tahun 1930-an orang-orang Banjar hampir tidak pernah lagi membangun rumah tempat tinggal mereka dengan bentuk rumah ba-anjung.
Masalah biaya pembangunan rumah dan masalah areal tanah serta masalah mode nampaknya telah menjadi pertimbangan yang membuat para penduduk tidak mau membangun lagi rumah-rumah mereka dengan bentuk rumah ba-anjung.
Banyak rumah ba-anjung yang dibangun pada tahun-tahun sebelumnya sekarang dirombak dan diganti dengan bangunan-bangunan bercorak modern sesuai selera jaman.
Tidak jarang dijumpai di Kalimantan Selatan si pemilik rumah ba-anjung justru tinggal di rumah baru yang (didirikan kemudian) bentuknya sudah mengikuti mode sekarang.
Apabila sekarang ini di daerah Kalimantan Selatan ada rumah-rumah penduduk yang mempunyai gaya rumah adat ba-anjung, maka dapatlah dipastikan bangunan tersebut didirikan jauh sebelum tahun 1930.
Untuk daerah Kalimantan Selatan masih dapat dijumpai beberapa rumah adat Banjar yang sudah sangat tua umurnya seperti di Desa Sungai Jingah, Kampung Melayu Laut (Kota Banjarmasin), Desa Teluk Selong, Desa Dalam Pagar (Martapura), Desa Tibung, Desa Gambah (Kandangan), Desa Birayang (Barabai), dan di Negara.
Masing-masing rumah adat tersebut sudah dalam kondisi yang amat memprihatinkan, banyak bagian-bagian rumah tersebut yang sudah rusak sama sekali.
Pemerintah sudah mengusahakan subsidi buat perawatan bangunan-bangunan tersebut. Namun tidak jarang anggota keluarga pemilik rumah menolak subsidi tersebut karena alasan-alasan tertentu , seperti malu atau gengsi. Karena merasa dianggap tidak mampu merawat rumahnya sendiri.
Bagaimanapun keadaan rumah-rumah tersebut, dari sisa-sisa yang masih bisa dijumpai dapat dibayangkan bagaimana artistiknya bangunan tersebut yang penuh dengan berbagai ornamen menarik.
Rumah Banjar yang lapuk dimakan zaman
Bagian dan Konstruksi Rumah Tradisonal Banjar
Pondasi, Tiang dan Tongkat
Keadaan alam yang berawa-rawa di tepi sungai sebagai tempat awal tumbuhnya rumah tradisional Banjar, menghendaki bangunan dengan lantai yang tinggi. Pondasi, tiang dan tongkat dalam hal ini sangat berperan. Pondasi sebagai konstruksi paling dasar, biasanya menggunakan kayu Kapur Naga atau kayu Galam. Tiang dan tongkat menggunakan kayu ulin, dengan jumlah mencapai 60 batang untuk tiang dan 120 batang untuk tongkat.
Kerangka
Kerangka rumah ini biasanya menggunakan ukuran tradisional depa atau tapak kaki dengan ukuran ganjil yang dipercayai punya nilai magis / sakral. Bagian-bagian rangka tersebut adalah :
- Susuk dibuat dari kayu Ulin.
- Gelagar dibuat dari kayu Ulin, Belangiran, Damar Putih.
- Lantai dari papan Ulin setebal 3 cm.
- Watun Barasuk dari balokan Ulin.
- Turus Tawing dari kayu Damar.
- Rangka pintu dan jendela dari papan dan balokan Ulin.
- Balabad dari balokan kayu Damar Putih. Mbr>
- Titian Tikus dari balokan kayu Damar Putih.
- Bujuran Sampiran dan Gorden dari balokan Ulin atau Damar Putih.
- Tiang Orong Orong dan Sangga Ributnya serta Tulang Bubungan dari balokan kayu Ulin, kayu Lanan, dan Damar Putih.
- Kasau dari balokan Ulin atau Damar Putih.
- Riing dari bilah-bilah kayu Damar putih.
Lantai
Di samping lantai biasa, terdapat pula lantai yang disebut dengan Lantai Jarang atau Lantai Ranggang. Lantai Ranggang ini biasanya terdapat di Surambi Muka, Anjung Jurai dan Ruang Padu, yang merupakan tempat pembasuhan atau pambanyuan. Sedangkan yang di Anjung Jurai untuk tempat melahirkan dan memandikan jenazah. Biasanya bahan yang digunakan untuk lantai adalah papan ulin selebar 20 cm, dan untuk Lantai Ranggang dari papan Ulin selebar 10 cm.
Dinding
Dindingnya terdiri dari papan yang dipasang dengan posisi berdiri, sehingga di samping tiang juga diperlukan Turus Tawing dan Balabad untuk menempelkannya. Bahannya dari papan Ulin sebagai dinding muka. Pada bagian samping dan belakang serta dinding Tawing Halat menggunakan kayu Ulin atau Lanan. Pada bagian Anjung Kiwa, Anjung Kanan, Anjung Jurai dan Ruang Padu, terkadang dindingnya menggunakan Palupuh.
Atap
Atap bangunan biasanya menjadi ciri yang paling menonjol dari suatu bangunan. Karena itu bangunan ini disebut Rumah Bubungan Tinggi. Bahan atapnya terbuat dari sirap dengan bahan kayu Ulin atau atap rumbia.
Ornamentasi (Ukiran)
Penampilan rumah tradisional Bubungan Tinggi juga ditunjang oleh bentuk-bentuk ornamen berupa ukiran. Penempatan ukiran tersebut biasanya terdapat pada bagian yang konstruktif seperti tiang, tataban, pilis, dan tangga. Sebagaimana pada kesenian yang berkembang dibawah pengaruh Islam, motif yang digambarkan adalah motif floral (daun dan bunga). Motif-motif binatang seperti pada ujung pilis yang menggambarkan burung enggang dan naga juga distilir dengan motif floral. Di samping itu juga terdapat ukiran bentuk kaligrafi. (Museum Lambung Mangkurat - Banjarbaru, "Rumah Tradisional Bubungan Tinggi dan Kelengkapannya", 1992/1993)
Pengaruh Sistem Religi dan Sistem Pengetahuan
Meskipun orang Banjar sudah memeluk Islam, namun dalam kegiatan sehari-hari yang sehubungan dengan kebudayaan masih melekat unsur aninisme, Hindu-Buddha yang berkembang sebagai dasar adat pada masa lalu. Akan tetapi hal itu tidak secara keseluruhan. Religi yang dianggap asal adalah dari Kaharingan yang dikembangkan oleh orang Dayak. Pengaruh Hindu, Buddha, Islam maupun Kristen tidak berarti kepercayaan nenek moyang dengan segala upacara religinya hilang begitu saja. Orang-orang Dayak yang telah memeluk Islam dianggap sebagai Suku Bangsa Banjar dan tidak lagi menganggap dirinya sebagai suku Dayak. Suku Banjar hampir semua sendi keagamaanya didasarkan pada sentimen keagamaan yang bersumber pada ajaran Islam. Jadi setiap setiap rumah tangga memiliki peralatan yang berhubungan dengan pelaksanaan keagamaan. Demikian pula pada rumah tradisional Banjar banyak dilengkapi dengan ukiran yang berkaitan dengan persaudaraan, persatuan, kesuburan, maupun khat-khat kaligrafi Arab yang bersumber dari ajaran Islam seperti dua kalimat syahadat, nama-nama Khalifah, Shalawat, atau ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur'an.
Namun ukiran-ukiran di rumah Banjar juga masih ada yang berhubungan dengan kepercayaan Kaharingan, Aninisme, Dinanisme, maupun Hindu-Buddha, misalnya swastika, enggang, naga dan sebagainya.
Cara Menentukan Ukuran Rumah Adat Banjar
Cara Menentukan Ukuran Rumah Adat Banjar dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain :
1. Panjang dan lebar rumah ditentukan ukuran depa suami dalam jumlah ganjil. (Depdikbud, Brotomoeljono, Rumah Tradisional Kalimantan Selatan, 1986 : 87)
2. Dihitung dengan mengambil gelagar pilihan, kemudian dihitungkan dengan perhitungan gelagar, geligir, gelugur. Bila hitungannya berakhir dengan geligir atau gelugur maka itu pertanda tidak baik sehingga harus ditutup dengan gelagar. Hitungan gelagar akan menyebabkan rumah dan penghuninya mendapatkan kedamaian dan keharmonisan. (Depdikbud, Brotomoeljono, Rumah Tradisional Kalimantan Selatan, 1986 : 87)
3. Cara lain menurut Alfani Daud, MA. (1997 : 462); Ukuran panjang dan lebar rumah dilambangkan delapan ukuran lambang binatang yaitu naga, asap, singa, anjing, sapi, keledai, gajah, gagak. Panjang ideal dilambangkan naga dan lebarnya dilambangkan gajah.Yang tidak baik ialah lambang binatang asap, anjing, keledai, atau gagak. (Jumlah) panjang depa seseorang yang membangun rumah dibagi delapan mewakili binatang berturut-turut seperti tersebut terdahulu. (Tiap depa dikalikan 12). Bila panjang rumah 6 depa, berarti 6 x 12 ukuran atau 72 ukuran, maka jika ukurannya dilambangkan oleh binatang naga, haruslah ditambah 1/12 depa lagi. Untuk memperoleh ukuran lambang gajah, panjang itu harus ditambah 7/12 depa atau dikurangi 1/12 depa. (Alfani Daud, MA, Islam dan Masyarakat Banjar, 1997 : 462).
Filosofi Rumah Adat Banjar
Pemisahan jenis dan bentuk rumah Banjar sesuai dengan filsafat dan religi yang bersumber pada kepercayaan Kaharingan pada suku Dayak bahwa alam semesta yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah.Rumah Bubungan Tinggi merupakan lambang mikrokosmos dalam makrokosmos yang besar.Penghuni seakan-akan tinggal di bagian dunia tengah yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah. Di rumah mereka hidup dalam keluarga besar, sedang kesatuan dari dunia atas dan dunia bawah melambangkan Mahatala dan Jata (suami dan isteri).
rumah adat banjar Rumah Bubungan Tinggi melambangkan berpadunya Dunia Atas dan Dunia Bawah Dwitunggal Semesta
Pada peradaban agraris, rumah dianggap keramat karena dianggap sebagai tempat bersemayam secara ghaib oleh para dewata seperti pada rumah Balai suku Dayak Bukit yang berfungsi sebagai rumah ritual. Pada masa Kerajaan Negara Dipa sosok nenek moyang diwujudkan dalam bentuk patung pria dan wanita yang disembah dan ditempatkan dalam istana. Pemujaan arwah nenek moyang yang berwujud pemujaan Maharaja Suryanata dan Puteri Junjung Buih merupakan simbol perkawinan (persatuan) alam atas dan alam bawah Kosmogoni Kaharingan-Hindu. Suryanata sebagai manifestasi dewa Matahari (Surya) dari unsur kepercayaan Kaharingan-Hindu, matahari yang menjadi orientasi karena terbit dari ufuk timur (orient) selalu dinantikan kehadirannya sebagai sumber kehidupan, sedangkan Puteri Junjung Buih berupa lambang air, sekaligus lambang kesuburan tanah berfungsi sebagai Dewi Sri di Jawa. Pada masa tumbuhnya kerajaan Hindu, istana raja merupakan citra kekuasaan bahkan dianggap ungkapan berkat dewata sebagai pengejawantahan lambang Kosmos Makro ke dalam Kosmos Mikro. Puteri Junjung Buih sebagai perlambang "dunia Bawah" sedangkan Pangeran Suryanata perlambang "dunia atas". Pada arsitektur Rumah Bubungan Tinggi pengaruh unsur-unsur tersebut masih dapat ditemukan. Bentuk ukiran naga yang tersamar/didestilir (bananagaan) melambangkan "alam bawah" sedangkan ukiran burung enggang melambangkan "alam atas".
Jenis-Jenis Rumah Banjar
A. RUMAH BUBUNGAN TINGGI
Rumah Bubungan Tinggi adalah salah satu rumah tadisional suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan.
rumah bubungan tinggi Rumah Bubungan Tinggi
ciri-cirinya adalah :
1. Atap Sindang Langit tanpa plafon
2. Tangga Naik selalu ganjil
3. Pamedangan diberi Lapangan kelilingnya dengan Kandang Rasi berukir
Konstruksi Rumah Adat Banjar
Konstruksi rumah adat Banjar atau rumah ba-anjung dibuat dengan bahan kayu. Faktor alam Kalimantan yang penuh dengan hutan rimba telah memberikan bahan konstruksi yang melimpah kepada mereka, yaitu kayu.
Sesuai dengan bentuk serta konstruksi bangunan rumah adat Banjar tersebut maka hanya kayulah yang merupakan bahan yang tepat dan sesuai dengan konstruksi bangunannya.
Bagian Konstruksi Pokok
Konstruksi pokok dari rumah adat Banjar dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu :
1. Tubuh bangunan yang memanjang lurus ke depan, merupakan bangunan induk.
2. Bangunan yang menempel di kiri dan kanan disebut anjung.
3. Bubungan atap yang tinggi melancip disebut Bubungan Tinggi.
4. Bubungan atap yang memanjang ke depan disebut atap Sindang Langit
5. Bubungan atap yang memanjang ke belakang disebut atap Hambin Awan).
Tubuh bangunan induk yang memanjang terus ke depan dibagi atas ruangan-ruangan yang berjenjang lantainya.
Ruangan
Ruangan-ruangan yang berjenjang lantainya ialah :
1. Palatar (pendopo atau teras), ruangan depan yang merupakan ruangan rumah yang pertama setelah menaiki tangga masuk. Ukuran luas ruangan ini adalah 7 x 3 meter. Palatar disebut juga Pamedangan.
2. Panampik Kacil, yaitu ruangan yang agak kecil setelah masuk melalui Lawang Hadapan yaitu pintu depan. Permukaan lantainya lebih tinggi daripada lantai palatar. Ambang lantai disini disebut Watun Sambutan. Luas ruangan ini adalah 7 x 3 meter.
3. Panampik Tangah yaitu ruangan yang lebih luas dari panampik kacil. Lantainya juga lebih tinggi dari ruang sebelumnya. Ambang lantai ini disebut Watun Jajakan.
4. Panampik Basar atau Ambin Sayup, yaitu ruangan yang menghadapi dinding tengah (Banjar: Tawing Halat). Permukaan lantainya lebih tinggi pula dari lantai sebelumnya. Ambang Lantainya disebut WatunJajakan, sama dengan ambang lantai pada Panampik Tangah. Luas ruangan 7 x 5 meter.
5. Palidangan atau Ambin Dalam, yaitu ruang bagian dalam rumah yang berbatas dengan panampik basar. Lantai palidangan sama tinggi dengan lantai panampik basar (tapi ada juga beberapa rumah yang membuat lantai panampik basar lebih rendah dari lantai palidangan). Karena dasar kedua pintu yang ada di tawing halat tidak sampai ke dasar lantai maka watun di sini disebut Watun Langkahan. Luas ruang ini 7 x 7 meter. Di dalam ruangan Palidangan ini terdapat tiang-tiang besar yang menyangga bubungan tinggi (jumlahnya 8 batang). Tiang-tiang ini disebut Tihang Pitugur atau Tihang Guru.
6. Panampik Dalam atau Panampik Bawah, yaitu ruangan dalam yang cukup luas dengan permukaan lantai lebih rendah daripada lantai palidangan dan sama tingginya dengan permukaan lantai panampik tangah. Ambang lantai ini disebut pula dengan Watun Jajakan. Luas ruang 7 x 5 meter.
7. Padapuran atau Padu, yaitu ruangan terakhir bagian belakang bangunan. Permukaan lantainya lebih rendah pula dari panampik bawah. Ambang lantainya disebut Watun Juntaian. Kadang-kadang Watun Juntaian itu cukup tinggi sehingga sering di tempat itu diberi tangga untuk keperluan turun naik. Ruangan padapuran ini dibagi atas bagian atangan (tempat memasak) dan salaian (tempat mengeringkan kayu api), pajijiban dan pagaduran (tempat mencuci piring atau pakaian). Luas ruangan ini adalah 7 x 3 meter.
Ukuran
Tentang ukuran tinggi, lebar dan panjang setiap rumah adat Banjar pada umumnya relatif berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh karena ukuran pada waktu itu didasarkan atas ukuran depa atau jengkal.
Ukuran depa atau jengkal tersebut justru diambil dari tangan pemilik rumah sendiri; sehingga setiap rumah mempunyai ukuran yang berbeda.
Ada kepercayaan di sana yang mengatakan bahwa setiap ukuran haruslah dengan hitungan yang ganjil bilangan ganjil.
Penjumlahan ganjil tersebut tidak saja terlihat di dalam hal ukuran panjang dan lebar, tapi juga sampai dengan jumlah hiasan tangga, anak tangga, layang-layang puncak dan lain-lain.
Jikalau diukur, maka panjang bangunan induk rumah adat Banjar pada umumnya adalah 31 meter sedang lebar bangunan induk adalah 7 meter dan lebar anjung masing-masing 5 meter.
Lantai dari permukaan tanah sekitar 2 meter yaitu kolong di bawah anjung dan palidangan; sedangkan jarak lantai terendah rata-rata 1 meter, yaitu kolong lantai ruang palatar.
Tata Ruang dan Kelengkapan Rumah Tradisonal Banjar
Tata ruang rumah tradisional Bubungan Tinggi membedakan adanya tiga jenis ruang yaitu ruang terbuka, setengah terbuka dan ruang dalam.
Ruang terbuka terdiri dari pelataran atau serambi, yang dibagi lagi menjadi surambi muka dan surambi sambutan.
Ruang setengah terbuka diberi pagar rasi disebut Lapangan Pamedangan.
Sedangkan ruang dalam dibagi menjadi Pacira dan Panurunan (Panampik Kacil), Paluaran (Panampik Basar), Paledangan (Panampik Panangah) yang terdiri dari Palidangan Dalam, Anjung Kanan dan Anjung Kiwa, serta Panampik Padu (dapur).
Secara ringkas berikut ini akan diuraikan situasi ruang dan kelengkapannya;
- Surambi
Di depan surambi muka biasanya terdapat lumpangan tempat air untuk membasuh kaki. Pada surambi muka juga terdapat tempat air lainnya untuk pembasuhan pambilasan biasanya berupa guci.
- Pamedangan
Ruangan ini lantainya lebih tinggi, dikelilingi pagar rasi. Biasanya pada ruang ini terdapat sepasang kursi panjang.
- Pacira dan Panurunan (Panampik Kacil)
Setelah masuk Pacira akan didapatkan tanggui basar dan tanggui kacil di arah sebelah kiri, sedangkan arah sebelah kanan terdapat pengayuh, dayung, pananjak dan tombak duha. Di sayap kanan ruangan terdapat gayung, sandal dan terompah tergantung di Balabat Panurunan. Sebagai perlengkapan penerangan dalam ruangan ini terdapat dua buah lampu gantung.
- Paluaran (Panampik Basar)
Ruangan ini cukup besar digunakan untuk berbagai kegiatan keluarga dan kemasyarakatan apabila masih kekurangan ruang Tawing Halat yang memisahkan dengan Palidangan dapat dibuka. Di bagian tengah di depan Tawing Halat ini terletak bufet. Di atasnya agak menyamping ke kiri dan ke kanan terdapat gantungan tanduk rusa. Di tengah ruangan terdapat dua buah lampu gantung. Lantainya diberi lampit dan kelengkapan bergerak seperti paludahan, kapit dan gelas, parapen, rehal.
- Palidangan (Panampik Panangah)
Ruangan ini terdiri dari Paledangan Dalam dan Anjung Kiwa - Anjung Kanan. Fungsi ruang sama dengan Paluaran, namun biasanya diperuntukkan bagi kaum wanita. Di sini terdapat kelengkapan lemari besar, lemari buta, kanap, kendi. Lantainya diberi hambal sebagai alas duduk.
- Anjung Kanan - Anjung Kiwa
Ruang Anjung Kanan merupakan ruang istirahat yang dilengkapi pula dengan alat rias dan perlengkapan ibadah. Sedangkan Anjung Kiwa merupakan tempat melahirkan dan tempat merawat jenazah. Di sini juga di beri perlengkapan seperti lemari, ranjang, meja dan lain-lain.
- Padu (dapur)
Di samping untuk tempat perlengkapan masak dan kegiatannya, ruang padu ini juga digunakan untuk menyimpan bahan makanan. Perlengkapan umum yang terdapat di dalamnya adalah dapur, rak dapur, pambanyuan, lemari, tajau, lampit dan ayunan anak.
Bentuk arsitektur dan pembagian ruang rumah tradisional Bubungan Tinggi mempunyai kesamaan prinsip antara satu dengan lainnya, dengan perbedaan-perbedaan kecil yang tidak berarti.
Dari sini dapat dilihat bahwa rumah tradisional Bubungan Tinggi tersebut mempunyai keterikatan dengan nilai tradisional masyarakatnya.
Jadi meskipun pada awalnya bentuk tersebut dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan fungsi dan adaptasi terhadap lingkungan, tetapi karena sifatnya yang berulang-ulang kemudian dari bentuk fungsional tersebut berubah menjadi bentuk yang tradisional.
B. RUMAH GAJAH BALIKU
Gajah Baliku adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Gajah Baliku mirip dengan Rumah Bubungan Tinggi, tetapi pada Bubungan Tinggi ruangan di sisi luar Tawing Halat (dinding tengah) lantainya berjenjang sedangkan pada Gajah Baliku tidak berjenjang karena Bubungan Tinggi untuk bangunan keraton yang bersifat hierarkis.
Rumah Gajah Baliku
Gajah Baliku pada ruang tersebut tidak memakai atap sengkuap (Atap Sindang Langit) tetapi memakai kuda-kuda dengan atap perisai (Atap Gajah) dengan lantai ruangan datar saja sehingga menghasilkan bentuk bangun ruang yang dinamakan Ambin Sayup. Sedangkan pada kedua anjung memakai atap Pisang Sasikat (atap sengkuap).
Ciri-ciri rumah Gajah Baliku adalah :
1. Atap jurai, hidung bapicik bentuk muka (maksudnya atap perisai)
2. Ambin terbuka kiri/kanan anjung
3. Atap bubungan tinggi
4. Atap sindang langit tidak ada kecuali pada kedua anjung
5. Panampik Kacil tidak ada, yang ada hanya Panampik Basar
Ciri-ciri lainnya : Bagian-bagiannya sama dengan rumah Bubungan Tinggi. Yang berbeda adalah atap yaitu
1. Atap bubungan tingginya sama
2. Atap kedua anjung, atap sindang langit (maksudnya atap sengkuap)
3. Atap panampik Kacil diganti dengan atap jurai dengan muka hidung bapicik (maksudnya atap perisai)
4. Atap Panampik Padu beratap jurai.
Ruangan
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
1. Palatar Sambutan
2. Palatar Pamedangan
3. Ambin Sayup
4. Palidangan diapit oleh Anjung Kanan dan Anjung Kiwa
5. Padapuran (Padu)
C. RUMAH GAJAH MANYUSU
Gajah Manyusu adalah salah satu rumah tradisional suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Pada rumah induk memakai atap perisai buntung dengan tambahan atap sengkuap (Sindang Langit) pada emper depan, sedangkan anjungnya memakai atap sengkuap (Pisang Sasikat) atau dapat pula menggunakan atap perisai.
Rumah Gajah Manyusu
Ciri-cirinya :
Tubuh bangunan induk memakai atap perisai buntung (bahasa Banjar : atap gajah hidung bapicik) yang menutupi serambi yang disebut pamedangan.
Pada teras terdapat 4 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap Sindang Langit. Empat pilar penyangga emper depan (karbil) pada teras dapat diganti model konsol.
Pada Tawing Hadapan terdapat tangga naik yang disebut Tangga Hadapan dengan posisi lurus ke depan.
Terdapat Serambi yang disebut Pamedangan yang menggunakan pagar susur yang disebut Kandang Rasi. Serambi dapat dibuat berukuran kecil saja pada salah satu sudut.
Sayap bangunan (anjung) memakai atap sengkuap yang disebut atap Pisang Sasikat seperti pada rumah Bubungan Tinggi.
Pada tipe lainnya sayap bangunan yang disebut anjung menggunakan model Anjung Surung seperti pada rumah Cacak Burung.
Ruang
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
Ruang terbuka/teras rumah yang disebut Surambi Sambutan
Ruang setengah terbuka/serambi atas yang disebut Pamedangan
Ruang Tamu yang disebut Ambin Sayup
Ruang Dalam yang disebut Palidangan diapit oleh Anjung terdiri dari Anjung Kanan dan Anjung Kiwa
Pantry yang disebut Padapuran atau Padu
"Rumah ini mempunyai ciri pada bentuk atap limas dengan hidung bapicik (atap mansart) pada bagian depannya. Anjung mempunyai atap Pisang Sasikat, sedang surambinya beratap Sindang Langit"
D. RUMAH BALAI LAKI
Balai Laki adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Bentuk atap Balai Laki memakai atap pelana pada rumah induk, sedangkan pada Anjung memakai atap sengkuap yang disebut atap Pisang Sasikat seperti pada rumah Bubungan Tinggi.
Rumah Balai Laki
Ciri-cirinya :
1. Memakai tebar layar yang disebut Tawing Layar
2. Tubuh bangunan induk memakai atap pelana (bahasa Banjar : atap balai laki) yang menutupi serambi pamedangan.
3. Pada teras (Surambi Sambutan terdapat 4 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap Sindang Langit. Kadang-kadang pilar ini diganti dengan konsol.
4. Pada dinding sisi depan yang disebut Tawing Hadapan terdapat 1 pintu masuk yang disebut Lawang Hadapan.
5. Kadang-kadang pada dinding depan juga terdapat jendela depan (lalungkang hadapan) di sebelah kanan dan kiri pintu masuk.
6. Pintu dinding tengah (lawang tawing halat) berjumlah 2 buah.
7. Serambi yang disebut pamedangan menggunakan pagar susur yang disebut Kandang Rasi.
8. Sayap bangunan (anjung) memakai atap sengkuap/lessenaardak yang disebut atap Pisang Sasikat seperti pada rumah Bubungan Tinggi.
9. Kadang-kadang memakai bentuk lengkung (gerbang) pada serambi/Pamedangan).
10. Kadang-kadang terdapat 3 (tiga) buah pintu masuk (lawang hadapan)karena 2 (dua) buah jendela depan diganti menjadi pintu juga.
11. Kadang-kadang pada teras/Surambi Sambutan juga menggunakan pagar Kandang Rasi.
Ruang
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
1. Palatar Sambutan
2. Pamedangan
3. Ambin Sayup
4. Palidangan diapit oleh Anjung yaitu Anjung Kanan dan Anjung Kiwa
5. Padapuran/Padu
Balai Laki dalam bentuk umum sama dengan Palimbangan, tapi dengan ukuran lebih kecil. Atap jurai dengan dahi tajam (maksudnya atap pelana) dan diberi sungkul bertatah bisa memakai anjung di belakang sebelah kiri atau tidak.
E. RUMAH BALAI BINI
Balai Bini adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Tubuh bangunan induk memakai atap perisai (bahasa Banjar : atap gajah), sedangkan sayap bangunan (anjung) memakai atap sengkuap/lessenaardak ( Bahasa Banjar : atap pisang sasikat).
Rumah Balai Bini
Ciri-cirinya :
1. Atap merupakan atap jurai
2. Atap sindang langit di kedua anjung
3. Pamedangan disambung dengan atap pisang sasikat
4. Pamedangan ditutup dengan Kandang Rasi
5. Paluaran menggunakan tataban
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
1. Palatar Sambutan
2. Palatar Pamedangan
3. Ambin Sayup
4. Palidangan diapit oleh Anjung Kanan dan Anjung Kiwa
5. Padapuran (Padu)
Ciri-ciri lainnya :
1. Tubuh bangunan induk memakai atap perisai (bahasa Banjar : atap gajah) yang menutupi serambi pamedangan.
2. Pada Surambi Sambutan terdapat 4 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap sindang langit.
3. Pada dinding depan (Tawing Hadapan) terdapat 1 Lawang Hadapan (pintu masuk), di antara pintu masuk terdapat jendela sebelah kanan dan kiri.
4. Serambi pamedangan (teras) menggunakan pagar Kandang Rasi.
5. Sayap bangunan (anjung) memakai atap sengkuap/zaldedaak ( atap pisang sasikat) seperti pada rumah Bubungan Tinggi.
6. Kadang-kadang 4 (empat) buah pilar penyangga emper depan (karbil) diganti model konsol.
7. Bagian atas teras (serambi Pamedangan) kadang-kadang memakai bentuk lengkung (gerbang).
8. Kadang-kadang tedapat 3 (tiga) buah pintu masuk karena 2 (dua) buah jendela diganti menjadi pintu juga.
9. Kadang-kadang Surambi Sambutan (teras emper) juga menggunakan pagar Kandang Rasi.
F. RUMAH PALIMBANGAN
Palimbangan adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Bumbungan atap rumah Palimbangan pada rumah induk memakai atap pelana dengan tebar layar yang disebut Tawing Layar. Jika memakai anjung maka atapnya juga menggunakan atap pelana dengan Tawing Layar. Pada teras/emper depan ditutup dengan atap sengkuap (atap lessenaardak) yang disebut atap Sindang Langit. Atap Sindang Langit ini menerus ke emper samping sampai di depan Anjung membentuk atap pelana yang sangat lebar.
Rumah Palimbangan
Rumah Palimbangan diperuntukkan bagi golongan saudagar besar. Rumah Palimbangan berukuran lebih besar dari pada rumah Balai Laki yang juga beratap pelana.
Palimbangan dengan anjung memakai Tawing Layar
Rumah Palimbangan ini mempunyai perbedaan dengan tipe lainnya antara lain pada bentuk atap dan ornamen ukiran yang dipakai. Ruang paluarannya beratap pelana dengan hiasan layang-layang di puncak gunungannya. Atap sindang langit untuk surambi juga diteruskan ke samping sehingga membentuk jurai (jurai luar). Atap ini bertemu atap sindang langit pada anjungnya. (1)
Contoh rumah Palimbangan memakai anjung beratap pelana adalah rumah Palimbangan milik Hj. Siti Hawa yang dibangun oleh kakeknya H. Seta terdapat di Kelurahan Pasayangan, Martapura, Banjar.
Ciri-cirinya :
1. Anjung memakai atap pelana dengan Tawing Layar yang menyambung dengan atap emper samping dan emper depan (Sindang Langit)
2. Tubuh bangunan induk memakai atap pelana/(bahasa Banjar : atap balai laki) yang menutupi serambi pamedangan.
3. Bentuk bangunan lebih besar dari rumah Balai Laki.
4. Pada Surambi Sambutan terdapat 6 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap sindang langit yang diteruskan ke emper samping kanan dan kiri dengan beberapa buah pilar tambahan.
5. Pada dinding sisi depan yang disebut Tawing Hadapan terdapat 1 pintu masuk yang disebut Lawang Hadapan.
6. Serambi pamedangan (teras) menggunakan pagar Kandang Rasi.
7. Tangga masuk lurus dari arah depan atau menyamping dari kiri kanan dengan jumlah trap ganjil.
8. Atap anjung diteruskan ke arah depan menyambung atap sindang langit (karbil).
9. Lawang (pintu) Tawing Halat (dinding tengah) berjumlah 2 buah.
1. Kadang-kadang ruang anjung diganti dengan "Ambin Sayup" yang beratap pelana dengan pintu masuk samping menjadi semacam pavilyun.
11. Ada kemiripan dengan rumah Jawa tipe "Kampung Dara Gepak"/rumah "Kampung Lawakan".
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
1. Teras yang disebut Palatar Sambutan
2. Serambi yang disebut Pamedangan
3. Ruang Tamu yang disebut Ambin Sayup/Paluaran
4. Ruang Dalam yang disebut Ambin Dalam/Palidangan dengan dua anjung kiri dan kanan.
5. Ruang Pantry yang disebut Padapuran/Padu
Palimbangan Tanpa Anjung
Ciri-cirinya :
1. Memakai tebar layar yang dinamakan Tawing Layar.
2. Tubuh bangunan induk memakai atap pelana yang biasa disebut atap balai laki.
3. Bentuk bangunan lebih besar dari rumah Balai Laki.
Pada teras (Palatar Sambutan) terdapat 4 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap Sindang Langit.
Pada dinding depan yang disebut Tawing Hadapan terdapat 1(satu), 2(dua) atau 3 (tiga) buah pintu masuk yang disebut Lawang Hadapan.
Serambi yang disebut pamedangan menggunakan pagar susur yang disebut Kandang Rasi.
Tangga masuk lurus dari arah depan dengan jumlah trap ganjil.
Tidak ada sayap bangunan (anjung).
Pintu dinding tengah (Lawang Tawing Halat) berjumlah 2 buah.
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
1. Teras yang disebut Palatar Sambutan
2. Serambi yang disebut Pamedangan
3. Ruang Tamu yang disebut Ambin Sayup/Paluaran
4. Ruang Dalam yang disebut Ambin Dalam/Palidangan
5. Ruang Pantry yang disebut Padapuran/Padu
G. RUMAH PALIMASAN
Palimasan adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Bentuk atap pada rumah Palimasan memakai atap perisai. Jika memakai anjung, atapnya juga berupa atap perisai.
Rumah Palimasan
Rumah Palimasan dengan Anjung
Rumah Palimasan merupakan suatu bangunan yang mukanya menyerupai tipe Gajah Baliku, beratap jurai dengan muka hidung bapicik (maksudnya atap pelana), bagian paluaran dan pamedangan diperluas dengan tangga sisi kiri-kanan, tidak berbubungan tinggi, anjung (Pisang Sasikat) diganti dengan Ambin Sayup.
Pada kurun waktu kemudian bentuk rumah Bubungan Tinggi ini berubah bentuk penyederhanaan yang kemudian disebut dengan nama Palimasan. Denah bangunan tetap sama dengan Bubungan Tinggi tetapi lantai berjenjang menjadi sama seluruhnya dengan konstruksi bubungan berubah menjadi atap (konstruksi kuda-kuda) pelana.
Ciri-cirinya :
1. Terdapat anjung dengan atap perisai yang disebut Ambin Sayup/Anjung Surung
2. Tubuh bangunan induk memakai atap perisai (bahasa Banjar : atap gajah) yang menutupi serambi pamedangan.
3. Terdapat 4 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap Sindang Langit pada surambi sambutan.
4. Pada dinding depan (Tawing Hadapan) terdapat 1 atau 2 atau 3 pintu depan (lawang hadapan),
5. Serambi pamedangan (teras) menggunakan pagar Kandang Rasi.
6. Pada umumnya tangga depan (Tangga Hadapan) kembar ke kanan dan kekiri.
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
1. Ruang terbuka/teras rumah yang disebut Surambi Sambutan
2. Ruang setengah terbuka yang disebut Pamedangan
3. Ruang Tamu yang disebut Ambin Sayup/Paluaran
4. Ruang Dalam yang disebut Palidangan dengan dua anjung kiri dan kanan.
5. Ruang Pantry yang disebut Padu
Palimasan Tanpa Anjung (Rumah Gajah)
Ciri-cirinya :
1. Tubuh bangunan induk memakai atap perisai (bahasa Banjar : atap gajah) yang menutupi serambi/pamedangan.
2. Pada teras terdapat 4 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap Sindang Langit pada surambi sambutan.
3. Pada dinding depan (Tawing Hadapan) terdapat 1 atau 2 atau 3 pintu depan (lawang hadapan),
4. Serambi yang dinamakan pamedangan menggunakan pagar susur yang dinamakan Kandang Rasi, kadang-kadang pada sisi atasnya berupa bentuk lengkung/gerbang.
5. Pada umumnya tangga depan (Tangga Hadapan) kembar ke kanan dan kekiri serta ada pula yang lurus.
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
1. Ruang terbuka/teras rumah yang disebut Surambi Sambutan
2. Ruang setengah terbuka yang disebut Pamedangan
3. Ruang Tamu yang disebut Ambin Sayup/Paluaran
4. Ruang Dalam yang disebut Palidangan
5. Ruang Pantry yang disebut Padapuran
H. RUMAH ANJUNG SURUNG
Anjung Surung adalah salah satu jenis rumah tradisional suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Tubuh bangunan induk memakai atap pelana (Tawing Layar) atau bentuk variasinya. Dinamakan Anjung Surung karena bentuk anjung/sayap bangunan dengan atap dalam posisi menyorong (bukan memakai atap Pisang Sasikat seperti pada Rumah Bubungan Tinggi).
Rumah Anjung Surung
Rumah Cacak Burung termasuk jenis Rumah Anjung Surung (dengan sedikit perbedaan pada bubungan atap di atas ruang Palidangan serta kedua anjung.
I. RUMAH TADAH ALAS
Tadah Alas adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Rumah Tadah Alas merupakan pengembangan dari Rumah Balai Bini yaitu dengan menambahkan satu lapis atap perisai pada kanopi paling depan. Atap kanopi inilah yang disebut "tadah alas" sehinggga rumah adat ini dinamakan rumah Tadah Alas.
Rumah Tadah Alas
Ciri-ciri bangunan :
1. Tubuh bangunan induk memakai atap perisai (bahasa Banjar : atap gajah) yang menutupi ruang Ambin Sayup.
2. Diberi tambahan satu lapis atap perisai (atap gajah) pada bagian paling depan yaitu atap yang menutupi kanopi paling depan dari bangunan yang menutupi serambi terbuka/Pamedangan yang berukuran kecil menjorok ke depan dengan ditopang 2 pilar.
3. Biasanya terdapat dua jendela variasi di depan ruang Paluaran/Ambin Sayup
4. Pada sayap bangunan (anjung) memakai atap sengkuap (lessenaardak) yang disebut atap Pisang Sasikat seperti pada rumah Bubungan Tinggi maupun Balai Bini.
5. Pada alternatif ke-2 sayap bangunan atau anjung memakai atap perisai seperti pada rumah Cacak Burung.
Ruang
1. Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
2. Pamedangan kecil
3. Ambin Sayup
4. Palidangan diapit 2 buah Anjung yaitu Anjung Kanan dan Anjung Kiwa
5. Padapuran (Padu)
Ciri-ciri Rumah Tadah Alas :
Atap jurai diberi satu lapis atau atap tumpang sama panjang dengan dibawahnya.
Bentuk bangunan merupakan sebuah Balai Bini.
J. RUMAH LANTING
Rumah Lanting adalah merupakan rumah tradisional tertua yang ada di Kalimantan Selatan , dan merupakan rumah rakit tradisional suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan dengan pondasi rakit mengapung terdiri dari susunan dari batang-batang pohon yang besar yang selalu oleng dimainkan gelombang dari kapal yang hilir mudik di sungai. Rumah Lanting banyak terdapat di sepanjang sungai-sungai di Kalimantan. Rumah Lanting juga terdapat di sepanjang sungai Musi di Palembang, Sumatera Selatan dengan sebutan Rumah Rakit.
Rumah Lanting
Ciri-ciri :
1. Bubungan memakai atap pelana
2. Landasan pelampung supaya mengapung dengan tiga batang besar pokok kayu, di atasnya dipasang gelagar ulin untuk dasar bangunan.
K. RUMAH JOGLO GUDANG
Rumah Joglo atau Rumah Joglo Gudang adalah satu rumah tradisional daerah Kalimantan Selatan (rumah Banjar) yang memiliki atap limas. Rumah Joglo disebut juga Rumah Bulat. Rumah seperti ini juga terdapat di kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Rumah Joglo Gudang
Rumah Bulat ini terdapat di Desa Penghulu, Marabahan, Barito Kuala. Bentuk bangunan rumah Joglo terdiri atas 3 susunan atap limas yang berderet ke belakang dengan satu tambahan atap limas yang lebih kecil pada paling belakang yang merupakan bangunan dapur (Padu). Rumah limas seperti ini kalau di Jawa disebut Rumah Limasan Endas Telu merupakan tiga atap limas yang berderet ke belakang.
Di Banjarmasin juga terdapat jenis rumah Joglo yang disebut Joglo Gudang yaitu satu buah atap limas dengan disambung atap Sindang Langit di depan dan atap Hambin Awan di belakang. Terdapat juga model Joglo Gudang yang besar dengan tambahan serambi Pamedangan hingga ke samping kiri dan samping kanan rumah.
Secara etimologi berasal dari kata Joglo dan gudang. Dinamakan Rumah Joglo karena menyerupai model rumah limasan suku Jawa yang disebut rumah Joglo, sedangkan istilah 'gudang' karena pada bagian kolong rumah (yang dalam bahasa Banjar disebut berumahan) dipergunakan sebagai gudang untuk menyimpan hasil hutan, karet yang merupakan komoditas perdagangan pada jaman dulu.
Di Banjarmasin, rumah jenis ini banyak ditempati orang Tionghoa-Banjar. Rumah Joglo Gudang merupakan salah khasanah kekayaan arsitektur daerah Kalimantan Selatan yang pernah berkembang pada masa lampau.
L. RUMAH BANGUN GUDANG
Bangun Gudang adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Atap pada dasarnya memakai atap perisai dengan serambi Pamedangan kecil di tengah-tengah. Pada bagian kiri dan bagian kanan dari "serambi pamedangan" diubah sebagai dinding depan kecuali bagian tengah yang tetap sebagai serambi pamedangan kecil yang diapit diantara kedua dinding depan tersebut. Memiliki tiga pintu masuk yaitu satu dari tengah, dari samping kiri dan dari samping kanan Pamedangan. Tidak terdapat 4 buah pilar yang biasanya ada pada teras rumah Banjar.
Rumah Bangun Gudang
Rumah Bangun Gudang
Ciri-cirinya :
1. Atap berbentuk atap gajah
2. Tangga masuk dari muka
3. Pamedangan kecil
4. Pintu masuk tiga buah (masing-masing dari tiga arah)
5. Pintu masuk tawing halat dua buah
Sumber : http://www.urangbanua.com/rumah-banjar.html
Ahlan Ramadhan
——————————————-
بالحب تلقى كالبدور ضيف الأماني والسرور
فيك العطايا والاجور يا مرحبا زين الشهور
Jour après jour , un monde d’amour des océans , soyez la bienvenue
Meilleur des mois , bienvenue bonheur et joie
Notre mois saint , bonheur et bien
we welcome you month we all adore
we pray for happiness and more
to all the people open up your door
welcome holy month Ramadan
احلى القوافي والنشيد في مقدم الشهر السعيد
النور في الدنيا يزيد والرب تواب شكور
رمضان رمضان
——————————————
oleh ; Musyaari Rasyid al Afasy
بالحب تلقى كالبدور ضيف الأماني والسرور
فيك العطايا والاجور يا مرحبا زين الشهور
Jour après jour , un monde d’amour des océans , soyez la bienvenue
Meilleur des mois , bienvenue bonheur et joie
Notre mois saint , bonheur et bien
we welcome you month we all adore
we pray for happiness and more
to all the people open up your door
welcome holy month Ramadan
احلى القوافي والنشيد في مقدم الشهر السعيد
النور في الدنيا يزيد والرب تواب شكور
رمضان رمضان
——————————————
oleh ; Musyaari Rasyid al Afasy
Analisis Terhadap Artikel “kembali ke Fitrah, kembali ke Optimisme”karya Hatta Rajasa
Menanggapi terhadap tulisan yang telah disampaikan oleh bapak Hatta Rajasa dengan judul “Kembali ke Fitrah, Kembali ke Optimisme”. Berdasarkan apa yang saya fahami dan telah saya analisis bahwa beliau mengatakan yang intinya beliau menghimbau kepada seluruh warga bangsa Indonesia untuk senantiasa optimis terhadap keadaan bangsa maupun Negara Indonesia yang tercinta ini dan jangan sampai pesimis menghadapi keadaan Negara kita ini. Namun berdasarkan analisis saya pribadi bahwa memang keadaan Indonesia saat ini sangatlah terpuruk di mata Negara-negara lain yang ada di seluruh dunia. Dan saya berpendapat bahwa memang Negara kita ini kaya akan sumber daya alam dan lain sebagainya, akan tetapi sangat disayangkan tingkat kemiskinan yang ada sangatlah banyak belum lagi tingkat kejahatan yang sulit di berantas mulai dari rakyat tingkat rendah sampai yang berkerah biru.
Memang saya pribadi sebagai salah satu warga Indonesia mendukung apa yang dikatakan bapak Hatta Rajasa untuk optimis dan senantiasa berfikiran positif terhadap Negara ini, akan tetapi sangatlah sulit menurut saya bagi Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan ini. Memang banyak fikiran-fikiran negatif yang keluar dari warga Indonesia tentang keadaan selama ini yang menghantui mereka baik itu dari segi pemerintahan, maupun perekonomian dan lain sebagainya. Saya berpandangan bahwa Indonesia saat ini seolah-olah tidak ada harapan lagi untuk bangkit apalagi maju seperti Negara-negara yang lain.
Yang menjadi masalah kita pada saat ini adalah kita kehilangan figur seorang pemimpin yang dapat mengayomi warganya. Yaitu seorang pemimpin yang senantiasa menjadi rujukan ataupun tempat bernaung bagi masyarakat apabila mereka mendapatkan permasalahan pribadi maupun menyangkut permasalahan Negara. Mohon maaf, beberapa tahun yang lalu kita di hebohkan aksi teror yang melanda negeri ini, namun pada kenyataanya presiden kita seolah-olah takut akan hal ini apalagi ketika beliau menyampaikan pidato yang mungkin bisa dibilang curhat terhadap rakyatnya bahwa fhoto beliau pernah menjadi sasaran latihan tembak. Sangat disayangkan bahwa pemimpin yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat berubah menjadi orang yang tiada artinya di mata rakyat.
Kita sebagai warga Indonesia mengharapkan pemimpin yang dapat melindungi rakyat dari bahaya-bahaya yang datang, seorang pemimpin yang kharismatik yang penuh dengan inspirasi, seorang pemimpin yang adil, tegas dalam bertindak dan tidak berat sebelah. Kita kembali sejenak ke masa lalu, mengambil sebagai contoh Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu, yang mana beliau sangat tegas didalam memimpin dan juga sangat sayang terhadap rakyatnya, tidak berat sebelah, sangat takut kepada Allah, dan beliau senantiasa menunaikan amanat ynag diberikan kepada beliau.
Jika kita membaca sejarah hidup perjalanan beliau secara mendalam, maka kita mengetahui bahwa pemimpin seperti beliau lah yang kita butuhkan seperti saat sekarang ini. Saya mengutarakan seperti ini bukannya saya membanding-bandingnkan dengan masa lalu akan tetapi perlu kita berkaca pada masa lampau agar kita dapat mengambil pelajaran yang telah terjadi pada zaman para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Sehingga dengan begitu rakyat Indonesia tahu bagaimana memilih sosok pemimpin yang mampu mengemban amanah yang berat ini. Memang dalam Agama Islam kita tidak diperbolehkan pesimis namun kita diperintahkan optimis, akan tetapi saya katakan sekali lagi bahwa keadaan saat seperti sekarang ini seolah-olah Indonesia tidak akan pernah bangkit maupun menjadi Negara maju jika pemimpinnya tidak menjalankan amanah dengan benar. Dan dengan ini saya tidak menyalahkan ataupun mengkritik atau bahkan menghina serta tidak memberikan solusi yang tepat terhadap pemimpin kita pada saat ini. Dan solusi yang saya tawarkan hendaknya seorang pemimpin mencontoh para pendahulu yang telah mampu memberikan pelayanan yang sepenuhnya kepada Rakyat terutama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum.
Oleh : Nasrullah
Memang saya pribadi sebagai salah satu warga Indonesia mendukung apa yang dikatakan bapak Hatta Rajasa untuk optimis dan senantiasa berfikiran positif terhadap Negara ini, akan tetapi sangatlah sulit menurut saya bagi Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan ini. Memang banyak fikiran-fikiran negatif yang keluar dari warga Indonesia tentang keadaan selama ini yang menghantui mereka baik itu dari segi pemerintahan, maupun perekonomian dan lain sebagainya. Saya berpandangan bahwa Indonesia saat ini seolah-olah tidak ada harapan lagi untuk bangkit apalagi maju seperti Negara-negara yang lain.
Yang menjadi masalah kita pada saat ini adalah kita kehilangan figur seorang pemimpin yang dapat mengayomi warganya. Yaitu seorang pemimpin yang senantiasa menjadi rujukan ataupun tempat bernaung bagi masyarakat apabila mereka mendapatkan permasalahan pribadi maupun menyangkut permasalahan Negara. Mohon maaf, beberapa tahun yang lalu kita di hebohkan aksi teror yang melanda negeri ini, namun pada kenyataanya presiden kita seolah-olah takut akan hal ini apalagi ketika beliau menyampaikan pidato yang mungkin bisa dibilang curhat terhadap rakyatnya bahwa fhoto beliau pernah menjadi sasaran latihan tembak. Sangat disayangkan bahwa pemimpin yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat berubah menjadi orang yang tiada artinya di mata rakyat.
Kita sebagai warga Indonesia mengharapkan pemimpin yang dapat melindungi rakyat dari bahaya-bahaya yang datang, seorang pemimpin yang kharismatik yang penuh dengan inspirasi, seorang pemimpin yang adil, tegas dalam bertindak dan tidak berat sebelah. Kita kembali sejenak ke masa lalu, mengambil sebagai contoh Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu, yang mana beliau sangat tegas didalam memimpin dan juga sangat sayang terhadap rakyatnya, tidak berat sebelah, sangat takut kepada Allah, dan beliau senantiasa menunaikan amanat ynag diberikan kepada beliau.
Jika kita membaca sejarah hidup perjalanan beliau secara mendalam, maka kita mengetahui bahwa pemimpin seperti beliau lah yang kita butuhkan seperti saat sekarang ini. Saya mengutarakan seperti ini bukannya saya membanding-bandingnkan dengan masa lalu akan tetapi perlu kita berkaca pada masa lampau agar kita dapat mengambil pelajaran yang telah terjadi pada zaman para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Sehingga dengan begitu rakyat Indonesia tahu bagaimana memilih sosok pemimpin yang mampu mengemban amanah yang berat ini. Memang dalam Agama Islam kita tidak diperbolehkan pesimis namun kita diperintahkan optimis, akan tetapi saya katakan sekali lagi bahwa keadaan saat seperti sekarang ini seolah-olah Indonesia tidak akan pernah bangkit maupun menjadi Negara maju jika pemimpinnya tidak menjalankan amanah dengan benar. Dan dengan ini saya tidak menyalahkan ataupun mengkritik atau bahkan menghina serta tidak memberikan solusi yang tepat terhadap pemimpin kita pada saat ini. Dan solusi yang saya tawarkan hendaknya seorang pemimpin mencontoh para pendahulu yang telah mampu memberikan pelayanan yang sepenuhnya kepada Rakyat terutama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum.
Oleh : Nasrullah
Langganan:
Komentar (Atom)